Wednesday, December 24, 2008

• Panduan rengkas kepada saudaraku untuk mengenali siapakah wahabi salafi sebenarnya? Biasanya mereka ini tidak mengaku, yang mereka itu wahabi yang membawa ajaran Muammad bin Abdul wahab dari najd itu , kerana Muhammad bin Abdul Wahab itu sejarah nya sudah dikenali sejak dari masa Rasulllah saw. lagi melalui sabdanya yang jelas dalam kitab hadis Bukhari sendiri dan sejarah mereka dari buku sejarah ulama yang semasa dengannya seperti buku karangan abangnya sendiri yang menolak kekelirun dari adik-adiknya Muhammad ini , yang mana Muhmmad ini menurut firasat ulama dan ayahnya sendiri amatlah jelik kerana membawa bid’ah yang berani mengkafirkan seluruh umat Islam selepas wafatnya Rasulullah sehingga 600 tahun sesudah itu. Jadi mereka yang menganut fahamannya (wahabi sahaja) yang benar-benar Islam, sedangkan umat Islam lain semunya halal darah harta anak kaum keluarga semuanya halal dan sia-sia, dan ini apa yang telah dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan konco-konconyanya semasa memasuki kota Mekah dan Madinah, setelah mereka menguasai tanah hijaz setelah jatuhnya kerajaan Islam pada masa itu, dan merobohkan segala tanda kebesaran agama Allah di muka bumi ini. Pada hari ini fahaman ini timbul lagi di tempat kita, untuk melemahkan perpaduan dan keharmonian masyarakat, tetapi bukan atas nama wahabi yang buruk, kejam dan zalim itu, tetapi sengaja diperkenalkan atas nama samaran yang mepesonakan seperti atas nama ahli swj salafossaleh ,kembali kepada sunnah tajdid islah syafieah dan lain-lain. Walaubagaimanapun hakikat dan rupa bentuk mereka tidak pernah berubah, mereka tetap membid’ahkan segala amalan umat Islam, seperti berzikir, bertasbih, berselawat, bergotong-royong ziarah dan membaca Quran, semuanya bid’ah dolalah bila mereka merujuk dan membawa sanad mereka biasanya balik kepada IbnuTaimih Ibnu jauzi, Muhammad abdul Wahab yang mana pemimpin mereka ini terkenal menganut fahaman a’kidah mujassimah musyabbihah ,urutan ajaran mereka kebanyakannya berpunca dari pahaman Muhammad AbdulWahab, Ibnu baz, al Bani ulama seria yang bermazhab wahabi dari najd ini .Kiranya terdapat pendapat Syafie yang nampak sama dengan pendpat mereka dikatakan mereka juga pengikut Syafieah , kerana kita disini ramai yang belajar dan mengikut Syafie yang berpendapat bahawa pahla amalan seorang itu tidak boleh sampai kepada orang lain(tanpa sebarang sebab dan usaha) .ini kekeliruan mereka sahaja , kerana dalam mazhab syafieah pahala amalan kebajikan itu sampai dari mereka yang maseh hidup kepada mereka yang sudah mati dengan sebab (niat)usaha dan karenah tertentu , malah ibadat tasbih yang dilakukan oleh pokok kayu yang ditanam atas suatu kubur itu juga, dapat meringankan seksa dan azab kubur tersebut inikan pla ibadat dan amalan manusia.

Wednesday, December 17, 2008

Renungan

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.



قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً



Katakanlah (hai Muhammad): Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84) “



فَلاَ تُزَكُّوا أنْفُسَكُم هُوَ أعْلَمُ بِمَن اثَّـقَى

“….janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang bertaqwa.” (An-Najm : 32)



Segala puji bagi Allah seru sekalian alam, shalawat dan salam ke atas penghulu manusia, yang terdahulu dan yang terakhir, yakni junjungan kita Nabi Muhammad saw., juga atas segenap keluarganya yang suci sampai hari akhirat.


Karena pada akhir-akhir ini sebagian golongan umat Islam yang mendakwa dirinya telah menjalankan syari’at (agama) paling benar, paling murni, pengikut para Salaf Sholeh dan menuduh serta melontarkan kritik tajam sebagai perbuatan sesat dan syirik kepada sesama muslim, bahkan sampai berani mengkafir- kannya, hanya karena perbedaan pendapat dengan melakukan amalan-amalan Islam seperti ziarah kubur, berkumpul membaca tahlilan/yasinan untuk kaum muslimin yang telah meninggal, berdo’a sambil tawassul kepada Nabi saw. dan para waliyyullah/sholihin, mengadakan peringatan keagamaan diantaranya maulidin/kelahiran Nabi saw., pembacaan Istighotsah, dan sebagainya. Bahkan ada yang sampai berani mengatakan bahwa pada majlis-majlis peringatan keagamaan tersebut adalah perbuatan mungkar karena didalamnya terdapat, minuman khamar (alkohol), mengisap ganja dan perbuatan-perbuatan munkar lainnya. Golongan yang sering mengata- kan dirinya paling benar itu tidak segan-segan menuduh orang dengan fasiq, sesat, kafir, bid’ah dholalah, tahrif Al-Qur'an (merubah al-Qur’an) dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. La haula walaa quwwata illah billahi. Ini fitnahan yang amat keji dan membuat perpecahan antara sesama muslim.



Alasan yang sering mereka katakan bahwa semuanya ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulallah saw., atau para sahabat, dengan mengambil dalil hadits-hadits dan ayat-ayat Al Qur’an yang menurut paham mereka bersangkutan dengan amalan-amalan tersebut. Padahal ayat-ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang mereka sebutkan tersebut ditujukan untuk orang-orang kafir dan orang-orang yang membantah, merubah dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya.



Golongan pengingkar ini sering mengatakan hadits-hadits mengenai suatu amalan yang bertentangan dengan pahamnya itu semuanya tidak ada, palsu, lemah, terputus dan lain sebagainya, walaupun hadits-hadits tersebut telah dishohihkan oleh ulama-ulama pakar hadits.



Begitu juga bila ada ayat Ilahi dan hadits yang maknanya sudah jelas tidak perlu ditafsirkan lagi serta makna ini disepakati oleh ulama-ulama pakar dan sebagian ulama dari golongan pengingkar ini sendiri, mereka dengan sekuat tenaga akan merubah makna ayat dan hadits ini bila berlawanan dengan paham golongan ini sampai sesuai/sependapat dengan pahamnya. Disamping itu golongan pengingkar ini akan mentakwil (memberi makna erti) perkataan ulama mereka yang menyetujui arti dari ayat ilahi dan hadits itu sampai sesuai dengan paham mereka. Oleh karenanya banyak ulama pakar hadits dari berbagai madzhab mencela dan mengeritik kesalahan golongan pengingkar yang sudah jelas itu.


Kita semua tahu bahwa firman Allah swt. (Alqur’an) yang diturunkan pada Rasulallah saw. itu sudah lengkap tidak satupun yang ketinggalan dan diubah. Bila ada orang yang mengatakan bahwa kalimat-kalimat/tekts yang tertulis didalam Alqur’an telah diubah dan lain sebagainya, dakwaan seperti ini harus diteliti dan diselidiki apakah dakwaannya ini boleh dipertanggung jawabkan kebenarannya. Begitu juga dalam ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah mengenai masalah haram atau halal telah diterangkan dengan jelas. Bila tidak ada keterangan yang jelas untuk suatu masalah, para ulama akan menilai dan meneliti amalan itu, apakah sejalan dan tidak bertentangan dengan syari’at yang telah digariskan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.



Bila amalan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at, malah sebaliknya banyak hikmah dan manfaat bagi ummat muslimin khususnya, maka para ulama ini tidak akan mengharamkan amalan tersebut. Karena mengharam- kan atau menghalalkan suatu amalan harus mengemukakan nash-nash yang khusus untuk masalah itu. Apalagi amalan-amalan dzikir yang masih ada dalilnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang semuanya mengingatkan kita kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta bernafaskan tauhid, umpamanya, kumpulan/majlis dzikir (tahlilan, istighotsah, peringatan keagamaan ..), ziarah kubur, bertawasul dalam do’a, bertabarruk dan lain sebagainya, tidak ada alasan orang untuk mengharamkannya. Jadi dalil-dalil yang mereka sebutkan untuk melarang amalan-amalan yang dikemukakan tadi, itu tidaklah tepat, karena hal itu termasuk kategori dzikir kepada Allah swt. dan merupakan perbuatan kebaikan. Dan semua perbuatan baik dengan cara apapun asal tidak melanggar dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah digariskan malah dianjurkan oleh agama.



Yang lebih mengherankan, para ulama golongan pengingkar amalan-amalan tadi, berani mengatakan
bahwa amalan-amalan itu bid’ah munkar, sesat, syirik dan lain sebagainya. Kalau seorang ulama sudah berani memfitnah seperti itu, apalagi orang-orang awam yang membaca tulisan tersebut justru lebih berbahaya lagi, karena mereka hanya menerima dan mengikuti tanpa tahu dan berpikir panjang mengenai kata-kata ulama tersebut.



Perbedaan pendapat antara kaum muslimin itu selalu ada, tetapi bukan untuk dipertentangkan dan dipertajam dengan saling mensesatkan dan mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pokok perbedaan pendapat soal-soal sunnah, nafilah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama kedua belah pihak. Karena masing-masing pihak sama-sama berpedoman pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulallah saw. (hadits), namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya (sudut pandang mereka).



Janganlah setelah menafsirkan dan menguraikan ayat-ayat Allah dan hadits Nabi saw. mengecam dan menyalahkan atau berani mensesatkan/meng- kafirkan kaum muslimin dan para ulama dalam suatu perbuatan karena tidak sepaham dengan madzhabnya. Orang seperti ini sangatlah fanatik dan extreem yang menganggap dirinya paling benar dan faham sekali akan dalil-dalil syari’at, menganggap kaum muslimin dan para ulama yang tidak sependapat dengan mereka, adalah sesat, bodoh dan lain sebagainya. Kami berlindung pada Allah swt., dalam hal tersebut. Allah Maha Mengetahui hamba-Nya yang benar jalan hidupnya. Ingat firman Allah swt. diatas (Al-Isra’[17] : 84 dan An Najm [53] : 32).



Kita boleh mengeritik atau mensalahkan suatu golongan muslimin, bila golongan ini sudah jelas benar-benar menyalahi dan keluar dari garis-garis syari’at Islam. Umpama mereka meniadakan kewajiban sholat setiap hari, menghalalkan minum alkohol, makan babi dan lain sebagainya, yang mana hal ini sudah jelas dalam nash bahwa sholat itu wajib dan minum alkohol dan makan babi itu haram. Jadi bukan mensesatkan, mengkafirkan amalan-amalan sunnah yang baik, seperti berkumpulnya orang untuk berdzikir bersama pada Allah swt. ( pembacaan istighothah, yasinan, tahlilan, ziarah kubur dan lain sebagainya), apalagi sampai-sampai menghalalkan darah mereka karena tidak sependapat dengan golongan tersebut, ‘Audzubillahi.



Begitu juga kita boleh mengkritik/mensalahkan suatu golongan muslimin yang meriwayatkan hadits tentang tajsim/penjasmanian atau penyerupaan/ tasybih Allah swt. sebagai makhluk-Nya (Umpama; Allah mempunyai tangan, kaki, wajah secara hakiki atau arti yang sesungguhnya), karena semua ini tidak dibenarkan oleh ulama-ulama pakar Islam karena hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah swt. yang mengatakan tidak ada sesuatu- pun yang menyerupai-Nya dan sebagainya, baca surat Asy-Syuura [42] : 11: surat Al-An’aam [6] : 103; dan surat Ash-Shaffaat [37] : 159 dan lain-lain. Dengan demikian perbedaan pendapat antara golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas melanggar syari’at Islam, inilah yang harus diselesai- kan dengan baik antara para ulama setiap golongan tersebut. Jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, cela-mencela antara setiap kaum muslimin.



Banyak sekali ayat-ayat Ilahi dan perintah Rasulallah saw. agar kita bersangka baik dan tidak mengkafirkan antara sesama muslim, bila ada perbedaan dengan mereka alangkah baiknya jika diselesaikan dengan ber- dialog !



Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125 : ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”



Sebagai ummat yang terbaik, kita tentu tidak ingin tercerai berai hanya lantaran berbeda pandangan dalam beberapa masalah yang tidak prinsipal. Kalau kita teliti lebih dalam ajaran-ajaran Islam, maka kita akan temukan persamaan diantara golongan masih jauh lebih banyak daripada perbedaan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam tersebut. Tapi kenyataan yang terjadi justru perbedaan yang tidak banyak itulah yang sering diperuncing dan ditampakkan sementara persamaan yang ada malah disembunyikan.



Jika perkumpulan (majlis) dzikir dan peringatan keagamaan dilarang, tidak disenangi dan dianggap sebagai perbuatan bid’ah dholalah (sesat), bagai mana dengan majlis yang tanpa di-iringi dengan dzikrullah dan shalawat pada Nabi saw. seperti berkumpulnya kaum muslimin disuatu tempat hanya sekedar bersembang kosong saja ?



Mari kita perhatikan hadits-hadits Nabi saw. berikut ini :



Rasulallah saw. bersabda: “Lan yadkhula ahadan minkum ‘amaluhul jannata qooluu wa laa anta yang Rasulallah, qoola wa laa anaa illaa an yataghom- madaniyallahu bi fadhlin minhu wa rohmatin”



Artinya: “Tidak ada seorangpun diantara kamu yang akan masuk surga lantaran amal ibadahnya. Para sahabat bertanya: ‘Engkau juga tidak wahai Rasulallah?’ Nabi menjawab: ‘Saya juga tidak, kecuali kalau Allah melimpah kan kepadaku karunia dan rahmat kasih sayang-Nya’ ”. (HR. Muslim)



Juga sabda Nabi saw dalam hadits yang lain:

“Ayyuhan Naas ufsyuu as salaama wa ath’imuu ath tho’aama wa shiluu al arhaama wa sholluu bil laili wan naasu niyaamu tadkhuluu al jannata bi salaamin”



Artinya:“Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah hubungan persaudaraan dan dirikanlah sholat ditengah malam niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan”.



Memahami hadits diatas ini maka kita akan seharusnya bertanya; ‘Apakah mungkin karunia dan rahmat kasih sayang Allah swt. akan dilimpahkan kepada kita sementara perbedaan yang kecil dalam masalah ibadah sunnah senantiasa kita perbesar dengan saling mengejek, mengolok-olok, men- fitnah, mensesatkan, saling melukai bahkan saling bunuh….?’



Kunci untuk masuk surga tidaklah cukup dengan hanya melakukan shalat tengah malam saja, tapi harus ada upaya untuk menyebarkan salam, memberi bantuan dan menyambung tali persaudaraan. Tanpa adanya tiga upaya ini, maka sebagian kunci surga kita telah terbuang. Bukankah perbedaan paham disikapi dengan saling sesat menyesatkan satu sama lain, sudah tentu, akan mengakibatkan munculnya permusuhan, menimbulkan kesulitan dan memutuskan tali persaudaraan. Menuduh, mengolok-ngolok kaum muslimin dengan tuduhan dan memberi gelar yang sangat buruk seperti bid’ah dholalah, laknat atau syirik ini sama dengan ‘kufur’.



Kalau memang dakwah golongan yang suka mengolok-olok ini senantiasa berdasarkan Al-Qur’an, mengapa mereka melanggar tuntunan Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya:



“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah satu kelompok mengolok olok kelompok yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok itu justru lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Janganlah pula sekelompok wanita mengolok-olok kelompok wanita yang lain karena bisa jadi kelompok wanita yang diolok-olok justru lebih baik dari kelompok wanita yang mengolok-olok. Janganlah kalian mencela sesamamu dan janganlah pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jelek sebutan sesudah beriman adalah sebutan ‘fasiq’. Karenanya siapa yang tidak bertobat (dari semua itu), maka merekalah orang-orang yang dzalim”.



Begitu juga kalau dakwah golongan tersebut senantiasa berdasarkan kepada hadits Nabi saw yang shahih, lalu mengapa mereka melanggar beberapa hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:



“Almu’minu lil mu’mini kal bunyaana ya syuddu ba’dhohu ba’dhan”



Artinya: “Seorang mukmin itu terhadap mukmin yang lain adalah laksana bangunan, yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain”



Hadits lainnya riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar:



اِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأِخِهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا فَاِنْ كَانَ

كَمَا قَالَ وَاِلَى رَجَعَتْ عَلَيْـهِ.



Artinya: “Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu akan kembali pada salah satu diantara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”.



Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhori :



“Man syahida an Laa ilaha illallahu was taqbala giblatanaa wa shollaa sholaatana wa akala dzabiihatanaa fa hua al muslimu lahu lil muslimi ‘alaihi maa ‘alal muslimi”



Artinya: “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, menganut kiblat kita (ka’bah), shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan daging sembelih an sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia mem- punyai kewajiban sebagaimana orang Islam lainnya”.



Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintah kan:



كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.



“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan: “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.



Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasul- Allah saw. bersabda:



وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)



“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.



Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:



وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ : قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ : لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)



“Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: ‘Dimanakah Malik bin Adduch-syum’? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucap kan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah’ ”.



Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;



عَنْ زَيْدِ أبْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا

الدِّيْكَ فَأِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ (رواه أيو داود)

“Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk sembahyang”. (HR.Abu Daud).



Binatang yang dapat mengingatkan manusia untuk sholat shubuh yaitu berkokoknya ayam jago pada waktu fajar telah tiba itu tidak boleh kita maki/ cela, bagaimana dengan orang yang suka mencela, mensesatkan saudara- nya yang mengadakan majlis dzikir (peringatan maulidin nabi, pembacaan Istighotsah dan sebagainya) yang disana selalu didengungkan kalimat-kalimat ilahi, sholawat pada Nabi saw.. serta pujian-pujian pada Allah swt. dan Rasul-Nya yang semuanya ini tidak lain bertujuan untuk mengingatkan serta mendekatkan diri pada Allah swt. agar menjadi hamba yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? Pikirkanlah !



Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah ra telah mendengar Rasulallah saw. bersabda :



وَعَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ.صَ. يَقُوْلُ: أِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا أِلَى النَّارِ اَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ (رواه البخاري ومسلم)



“Sungguh adakalanya seorang hamba berbicara sepatah kata yang tidak diperhatikan, tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka oleh kalimat itu lebih jauh dari jarak antara timur dengan barat". (HR.Bukhori dan Muslim)



Memahami hadits ini kita disuruh hati-hati untuk berbicara, karena sepatah kata yang tidak kita perhatikan bisa menjerumuskan kedalam api neraka. Nah kita tanyakan lagi, bagaimana halnya dengan seseorang yang sering mensesatkan golongan muslimin yang selalu mengadakan majlis dzikir, peringatan-peringatan agama yang didalam majlis-majlis tersebut selalu dikumandangkan tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan lain sebagainya ? Pikirkanlah !



Didalam surat An-Nisaa [4]: 94 artinya; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya).. sampai akhir ayat.”



Lihat ayat ini dalam waktu perang pun kita tidak boleh menuduh atau mengucapkan pada orang yang memberi salam (dimaksud juga orang yang mengucapkan Lailaaha illallah) sebagai bukan orang mukmin sehingga kita membunuhnya.



Masih banyak riwayat yang melarang orang mencela, mengkafirkan sesama muslimin yang tidak dikemukakan disini. Jelas buat kita dengan adanya ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulallah saw. diatas, kita bisa bandingkan sendiri bagaimana tercelanya orang yang suka menuduh sesat, kafir, syirik terhadap sesama musliminnya yang senang melakukan amalan-amalan kebaikan (diantaranya dzikir bersama, tahlilan, memperingati hari lahir Nabi saw. dan sebagainya) disebabkan mereka tidak sefaham atau sependapat dengan orang ini ? Begitu juga orang yang mencela, mensesatkan satu madzhab karena tidak sepaham dengan madzhabnya.



Sebab tuduhan ini sangat berbahaya. Nabi saw. menyuruh agar kita harus berhati-hati dan tidak sembarangan untuk berbicara, yang mana ucapan itu bisa mengantarkan kita keneraka. Malah perintah Allah swt. (dalam surat Toha ayat 43-44) kepada Nabi Musa dan Harun -‘alaihimassalam- agar mereka pergi keraja Fir’aun yang sudah jelas kafir dan melampaui batas untuk mengucapkan kata-kata yang lunak/halus terhadapnya, barangkali dia (Fir’aun) bisa sadar/ingat kembali dan takut pada Allah swt. Untuk orang kafir (Fir’aun) saja harus berkata halus apalagi sesama muslim. Wallahu a'lam.

Wednesday, December 10, 2008

HUKUM MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK KETIKA BERTASYAHHUD DALAM SOLAT

HUKUM MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK KETIKA BERTASYAHHUD DALAM SOLAT


1.0 PENDAHULUAN

Kebanyakkan dari kita keliru dengan perbuatan menggerakkan jari telunjuk di dalam

solat. Ternyata terdapat pelbagai gerakan dan gaya yang ditampilkan. Lantaran itu, isu ini

hangat diperkatakan. Baik dikalangan bangsa arab mahupun dikalangan kita. Ternyata

kita masih samar-samar dalam mencari jawapannya. Apakah kedudukan hukum yang

sebenarnya. Apakah pandangan mazhab kita dan mazhab-mazhab empat dalam masalah

ini. Bersama kita lapangkan hati dan minda kita untuk menerokai hakikatnya.

2.0 LATARBELAKANG PERMASALAHAN

Sebenarnya isu ini bertaraf permasalahan ranting feqhiyyah. Iaitu antara afdhal dan tidak

afdhal sahaja. Maksudnya setiap individu diberi pilihan samada untuk menggerakkan jari

telunjuk ketika bertasyahhud atau tidak. Jika dilakukan seseorang itu akan mendapat

tambahan pahala. Dan jika tidak dilakukan tidak mengapa. Inilah nilai estetika syariat

yang bersifat fleksibel dalam kelasnya tersendiri.

Tambahan pula, terdapat pelbagai isu yang lebih besar perlu diutamakan. Jika kita hanya

berkisar pada daerah isu yang kecil maka hasilnya tak sampai ke mana. Dan kita seperti

bergerak dalam kehilangan arah tuju.

3.0 PUNCA PERMASALAHAN

Ketahuilah bahawa isu ini merupakan isu yang baru berlaku. Ia mula dikesan di zaman

kita apabila Syeikh Nasiruddin Al-Albaani di dalam kitabnya SifatusSolah An-Nabi[1]

mendakwa disunatkan menggerakkan jari terlunjuk ketika bertasyahhud secara berterusan

sehingga salam dan selesainya solat. Beliau mendakwa perbuatan sebeginilah yang

sunnah dan sunat sebenarnya. Manakala perbuatan selainnya dikatakan tidak sunnah.

Malangnya, ada sesetengah pihak begitu keras menuduh sebahagian dari kita yang tidak

melakukan amalan di atas (sebagaimana mereka) sebagai pembuat bidíah yang sesat. Dan

layak dihumban ke dalam neraka kerana dikatakan tidak mengikuti jalan yang diajar oleh

Rasulullah. Masya Allah. Ekoran itu perlakulah tuduh-menuduh. Dan kita salah

bertelingkah dengan isu kecil seperti ini. Dimanakah sikap berlapang dada dan tawaddhuk kita?

Justeru itu, inilah masanya yang sesuai untuk kita menelusuri dakwaan beliau. Sekaligus

menjawab menjawab kemusykilan ini. Kita tidak perlu memerah otak atau bekerja keras

untuk menyelesaikannya. Hanya kepada Allah SWT kita memohon taufik dan

pertolongan.

4.0 KEDUDUKAN HUKUM

Ketahuilah bahawa Imam Al-Hafiz Mahyiddin An-Nawawi rhm telah ditanya di dalam

kitabnya Al-Fatawa tentang isu mengerakkan jari (telunjuk) di dalam solat. Pertanyaan itu

berbunyi : ìAdakah menggerakkan jari telunjuk pada tangan kanan itu disunatkan.?

Bilakah waktu yang sesuai untuk menggerakan jari tersebut? Adakah menggerakkanya

secara berterusan itu membatalkan solat?î- hingga tamat soalan.

Maka Imam al-Nawawi rhm menjawab : ìDisunatkan mengangkat jari telunjuk dari

tangan kanan ketika melafazkan huruf ëhamzahí pada kalimah ( ·« Å·Â Å·« «··Â )

sekali sahaja[2] tanpa menggerak-gerakkanya[3] Sekiranya seseorang itu mengulangi

pergerakannya berkali-kali, maka hukumnya adalah makruh. Hal ini tidak membatalkan

solat. Demikian menurut pendapat yang sahih. Dikatakan juga, iaitu menurut pendapat

yang lemah batal solatnyaîÖ Tamat Fatwa Al-Nawawi m/s 54

Dalam menyelesaikan masalah ini, kami akan mendedahkan bukti-bukti mereka yang

mengatakan bahawa sunat menggerakkan jari telunjuk secara berterusan. Kemudian kita

akan membincangkan dalil-dalil tersebut satu persatu. Kami juga akan menjelaskan

bahawa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka di atas itu tidak sesuai. Hal ini

diperolehi berdasarkan hujah-hujah dan bukti yang terang lagi bersuluh. Insya AllahÖ

Disamping itu, kita juga akan menjelaskan dalil yang mengatakan bahawa tidak

disunatkan mengerakkan jari telunjuk secara berterusan menerusi pandangan para ulamak

yang muhaqqiq.

Pendapat para ulamak Mazhab :

1) Di dalam kitab Auni Al-Maíbud m/s 455 juz 3 dinyatakan bahawa Syeikh Salamullah

berkata di dalam Syarah Muwattha dengan katanya ìPada hadis Wail bin Hujr menurut

Abu Daud[4] yang berbunyi ìKemudian Baginda mengangkat jari telunjuknya, lalu saya

dapati Baginda menggerakkan jari telunjuknya sambil berdoaî.

Hadis ini menjelaskan adanya perbuatan menggerakkan jari telunjuk ketika bertasyahhud.

Inilah pendapat yang diambil oleh Imam Malik dan kebanyakkan ulamak. Perkara inilah

sebenarnya yang dimaksudkan dengan ìmenggerakkan jariî. Dan maksud yang

diputuskan di sini tidak ada percanggahan dengan riwayat yang telah dibawa oleh Imam

Muslim daripada Abdullah bin al-Zubair yang bermaksud ìAdalah Rasulullah SAW

menyisyaratkan jari telunjuknya sambil berdoa tanpa menggerakkannya.î[5] -tamat

ìAuni Al-Maíbudî

2) Berkata penulis kitab Ar-Raudh Al-Marbaí Al-Hanbali m/s 59 juz 1 : ìNabi SAW

mengisyaratkan dengan jari telunjuknya tanpa menggerakkan jari Baginda ketika

bertasyahhud dan doanya di dalam solat dan selainnya. Perbuatan ini dilakukan oleh

Baginda ketika mana Baginda menyebut lafaz Allah SWT. Ianya sebagai suatu peringatan

keatas tauhidî. ñtamat dari ëAr-Raudh Al-Marbaí ñ kitab ini merupakan kitab mukhtasar

yang muktamad (dipegangi) dikalangan ulamak Al-Hanabilah.

3) Berkata pula Syeikh Al-Mazhab Al-Hanabilah iaitu Ibn Qudamah Al-Hanbali di dalam

kitanya ìAl-Mugniî m/s 534 juz 1 : ìDan baginda mengisyaratkan dengan jari telunjuk

dengan mengangkatnya ketika Baginda menyebut lafaz Allah Taala ketika bertasyahhud.

Perkara ini ditentukan berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin al-

Zubair yang bermaksud : ìSesungguhnya Nabi SAW mengisyaratkan dengan jari

telunjuknya dan Baginda tidak menggerakkannyaî. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu

Dawud. ñTamat.

5.0 MAKSUD ëMENGGERAKKAN JARI TELUNJUKí

Ketahuilah (semoga kalian dirahmati Allah) bahawa perkara yang dimaksudkan oleh

Sayyidina Wail bin Hujr pada lafaz ( ·« Å·Â Å·« «··Â ) itu ialah menggerakkan jari

telunjuk sekali sahaja. Ianya merupakan satu isyarat kepada tauhid. Hal ini amat

bertepatan sebagaimana yang dilakukan oleh Baginda SAW yang tidak menggerakkan

jari telunjuknya daripada awal tahiyyat. Akan tetapi baginda menggerakkannya ketika

membaca ( ·« Å·Â Å·« «··Â ).

Adapun hadis Sayyidina Abdullah bin al-Zubair itu adalah menafi perbuatan

menggerakkan jari secara berulang-ulang. Maknanya ialah perbuatan menggerakkan jari

itu hanya cukup untuk sekali sahaja.

Jadi, kita dapati disini ialah tidak ada pertentangan antara dua hadis. Inilah penjelasan

secara ringkas daripada para ulamak didalam menjelaskan masalah ini. Disini kami

bawakan penjelasan beberapa orang ulamak yang kami naqalkan daripada kitab-kitab

mereka:-

Imam An-Nawawi rhm di dalam ìAl-Majmuí Syarh Al-Muhadzabî m/s 455 juz 3,

mengatakan ìUlamak mengatakanÖhikmat meletakkan dua telapak tangan di atas dua

paha ketika bertasyahhud ialah untuk mencegah daripada melakukan perkara yang sia-

siaÖî

Pada sudut yang sama, beliau menuqilkan pendapat Imam Al-Baihaqi sebagai berkata :

ìSesungguhnya perkara yang dimaksudkan pada hadis riwayat Sayyidina Wail b. Hujr itu

dengan lafaz ( ÌÕ—fl« ) iaitu ìDia menggerakkannyaî ialah mengangkat jari telunjuk

sekali sahaja. Iaitu tanpa menggerakkannya secara berterusan. Maksud ini bertepatan

dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Abdullah b. al-Zubair dengan Lafaz

( ·« ÌÕ—fl« ) iaitu ìDia (Nabi) tidak menggerakkannyaî. Demikian perkataan Imam Al-

Baihaqi yang dinuqilkan oleh Imam An-Nawawi ke dalam kitabnya ìAl-Majmuíî

daripada Sunan Al-Kubra ñ Al-Baihaqi m/s 132 juz 2. Kami bawakannya disini secara

ringkas.

Dan sesungguhnya kami telah membawakan fatwa Imam Al-Nawawi yang mengatakan

bahawa dimakruhkan menggerakkan jari secara berterusan di dalam solat. Turut

menguatkan pendapat kami ini ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam

Sunannya dengan sanad yang sahih daripada Numair Al-Khuzaiíie. Numair sebagai

berkata : ìAku melihat Nabi SAW meletakkan telapak tangannya di atas paha kanan

sambil membengkokkan sedikit jarinya.î[6]

Adapun hadis ìmenggerakkan jari telunjuk itu terlebih berat keatas Syaitan daripada besiî

tidak boleh dijadikan dalil untuk menggerakkan jari secara berterusan. Akan tetapi

maksud sebenar hadis ini ialah orang-orang yang bertasyahhud itu apabila mereka

mengangkat jari telunjuknya merupakan manifestasi isyarat tauhid, seolah-olah mereka

memukul syaitan dengan besi.

Hadis ini bukan bermaksud syaitan itu berada dibawah telunjuk ketika kita

menggerakkannya. Andaian yang mengatakan bahawa syaitan berada dibawah telunjuk

hanyalah satu kesamaran sahaja. Dan dengan kesamaran inilah orang yang

menggerakkannya itu beranggapan bahawa dia sedang memukul syaitan. Pendapat seperti

ini tidak diperkatakan oleh orang-orang yang berakal.

Sebagai satu peringatan disini, dinyatakan bahawa hadis ìmenggerakan telunjuk itu

terlebih dahulu berat keatas syaitan daripada besiî adalah dhaif dari sudut sanabnya. Pada

sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang dihukum tsiqah (dipercayai) oleh Ibn

Hibban. Akan tetapi perawi itu juga dihukum dhaif oleh jumhur (kebanyakan ulamak)

Imam Al-Hafiz Ibn Hajr Al-Asqolani didalam ìAt-Taqrib At-Tahzibî menyatakan :

ìKatsier b. Zaid ialah ialah seorang yang benar. Tapi selalu membuat silap di dalam

meriwayatkan hadis. Dia bukanlah perawi daripada Bukhari dan Muslim (Sahihain)î.

6.0 MAKSUD ëAL-TAHLIQí PENJELASAN TERHADAP MAKNA AT-TAHLIQ (MEMBUAT BULATAN MENGGUNAKAN JARI)

Setengah dari kita menyangka bahawa At-Tahliq itu ialah menggerakkan jari telunjuk

dengan membuat satu bulatan. Ini adalah sangkaan yang salah. Sebenarnya perkara yang

dimaksudkan dengan At-Tahliq itu ialah seseorang yang mengerjakan solat (di dalam

tasyahhud) itu menjadikan jari tengah (jari hantu) bertangkup dengan ibu jari diiringi

dengan anak-anak jari yang lain. Tangkupan ini menjadikan satu bulatan. Perbuatan ini

sebenarnya tidak membawa kepada makna menggerakan jari. Demikianlah mengikut

penjelasan daripada kitab-kitab Al-Sunan.

Sesungguhnya Imam Ahmad telah meriwayatkan perihal tahliq ini di dalam Al-Musnad

m/s 316 juz 4. Ibn Khuzaimah pula meriwayatkan hadis ini di dalam Sahihnya bernombor

697. Kedua riwayat ini melalui Wail b. Hujr r.a yang berbunyi : ìSaya melihat Nabi SAW

membuat bulatan antara jari tengah dengan ibu jarinya dengan mengangkat jari

telunjuknya sambil berdoa (menyeru) ketika bertasyahhudî.

Hadis ini juga turut diriwayatkan oleh Imam An-Nasaie di dalam Sunannya m/s 35/36 juz

3, akan tetapi dengan lafaz yang berlainan. Riwayat itu berbunyi : ìRasulullah SAW

menggenggam kedua jarinya lalu membuat bulatan. Saya melihat Baginda membuatnya

sebegini (lalu dia mengisyaratkan dengan telunjuknya dan membuat bulatan melalui jari

tengah dengan ibu jarinya)î ñ Maka berhati-hatilah.

7.0 PERANAN KITA

7.1 Kita perlu memahami sesuatu dari akar umbinya. Maksudnya status permasalahan,

punca permasalahan dan menelusuri pendapat para ulamak secara berdisiplin. Di samping

mengamati dalil-dalilnya.

7.2 Kita tidak perlu tergesa-gesa dalam mencari kata putus terhadap sesuatu

permasalahan. Kelak nanti, apa yang kita pegangi sebenarnya tidak dituntut. Manakala

apa yang kita tinggalkan itu sebenarnya satu tuntutan.

7.3 Perasaan insaf, sedar diri dan tawaddhuk perlu ada pada kita walau apa jua status dan

kedudukan kita.

7.4 Kita hendaklah menyampaikan sesuatu dengan penuh releven dan hikmah agar

kebenaran mampu terserlah dengan nilainya.

8.0 KESIMPULAN

8.1 Menggerakkan jari merupakan salah satu permasalahan cawangan dari ranting

feqhiyyah. Ia melibatkan soal afdhal dan tidak afdhal sahaja. Bukannya antara halal dan

haram ataupun sah dan tidak.

8.2 Kita tidak boleh menghukum seseorang dengan ahli bidíah disebabkan dia tidak

melakukan perkara sunnah. Ini kerana kemungkinan sunnah tersebut merupakan

khususiyyah atau bermaksud sunnat sahaja. Sedangkan tuduhan sesat dan bidíah

sebenarnya amat berat kerana ia boleh mengeluarkan seseorang dari Islam.

8.3 Kita seharusnya berlapang dada terhadap sesuatu isu yang boleh membawa

kesepakatan dan toleransi antara sesama kita.

[1] Buku karangan Syeikh al-Baani ini telah diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa

Melayu oleh Us Abdullah Qari Hj Salleh dan Us Hussien Yee dan lain-lain berjudul

ìCiri-ciri Solat Nabi SAW.î Sebenarnya intisari buku ini lebih merupakan simpulan

pendapat Syeikh al-Baani yang tidak berpegang kepada mana-mana mazhab. Bahkan

condong kepada pemikiran Salafiyah al-Wahabiyyah. Dan ketahuilah bahawa pendekatan

feqhiyyah yang diutarakan mereka ini jauh berbeza dengan pegangan dan pengamalan

rasmi kita di Malaysia . Ternyata, jika cuba diimplimentasi ia sedikit sebanyak

mendatangkan kerancuan di kalangan masyarakat. Lantaran itu, Tuan Guru kami Syeikh

Hasan al-Saqqaf cuba memperbetulkan beberapa dakwaan Syeikh al-Baani dengan

membawa perbincangan feqhiyyah menjurus kepada mazhab al-Syafiíie untuk

disesuaikan dengan realiti pengamalan syaríie di negara kita khususnya.

[2]Dalil perbuatan ini adalah berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar

r.a yang bermaksud : ìAdalah Nabi SAW apabila baginda mendirikan solat, Baginda

meletakkan tangan kanannya diatas paha kanan dan menggenggam jari jemarinya. Lalu

Baginda mengisyaratkan (mengangkat) jari telunjuknya (yang dekat dengan ibu jarinya).

Baginda juga telah meletakkan tangan kirinya diatas paha kiri.î ñRiwayat Al-Khamsah

kecuali Al-Bukhari.

[3] Perbuatan ini berdasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Zubair r.a

yang bermaksud ; ìSesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan dengan jari

telunjuknya tanpa menggerakkannyaî. Ini adalah hadis yang sahih yang dikeluarkan oleh

Abu Daud dan Al-Baihaqi. Insya Allah kita akan membuat kupasan secara panjang lebar

tentang hadis ini dihadapan.

[4] Sesunggunya Al-Baani telah tertipu dengan nisbah sesetengah yang baru terhadap

Abu Daud. Maka, kita katakana bahawa nisbah beliau terhadap Abu Daud ini berdasarkan

kepada taklid. Inilah sebahagian daripada dalil-dalil yang banyak yang membuktikan

bahawa Al-Baani bukanlah seorang muhaddis. bahkan dia hanya seorang penuqil

daripada kitab-kitab hadis sahaja. Maka berhati-hatilah.

[5] Bagi saya (penulis) : ìHadis ini juga bukan tercatat di dalam Sahih Muslim. Akan

tetapi ia wujud di dalam Sunan Abu Daud. Maka berhati-hatilah.

[6] Hadis ini telah disahkan oleh para Huffaz (Ahli hadis). Malik b. Numair Al-Khuzaíie

adalah seorang yang diterima pada sanadnya. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan

oleh Ibn Hajr di dalam ìAt Taqrib-At Tahzibî. Tidak ada hadis yang diriwayatkan

daripada beliau melainkan seorang perawi sahaja. Dan para huffaz telah mengesahkan

hadisnya. Dan kebanyakkan orang-orang yang dipercayai mempercayai riwayatnya

kerana hadis ini bukan hanya diriwayatkan oleh beliau seorang sahaja. Mereka seperti

Thabit b. Qais Az-Zarqi Al-Madini. Saya telah menjelaskan hal ini satu persatu didalam

kitab saya ìImtaí Al-Ilhaz bitausiq Al-Huffazî. Dan Imam Al-Hafiz Ibn Khuzaimah telah

menghukum sahih hadis Malik b. An-Numair Al-Khuzaíie ini didalam ìsahihînya m/s

354 juz . Al Hafiz Ibn Hajr juga turut mengakuinya didalam kitabnya ìAl-Isobahî ketika

menterjemahkan perawi ini bernombor 8807. Disamping itu, Ibn Hibban juga telah

meriwayatkan hadis ini didalam sahihnya m/s 202 juz 3. bernombor 1943. Beliau juaga

dengan Abu Daud (tanpa reaksi) didalam sahihnya m/s 260 juz 1 bernombor 911. Saya

rasa sudah mencukupi bagi kita untuk menghukum hadis ini dengan sahih. Sayang sekali,

Al-Baani telah menghukumnya dhaif (lemah) didalam kitabnya ìTaman Al-Minnahî,

kemudian saya dapati beliau menghukum sahih pula hadis Malik b. An-Numair Al-

Khuzaíie ini didalam kitabnya ìSahih Sunan An Nasaieî m/s 272 juz 1. Dan ternyata ini

adalah tanaqudh (berlawanan), Maka berhati-hatilah.



Friday, December 5, 2008

Hukum Ibadah Korban

Hukum Ibadah Korban

ULAMA ahli sunnah wal jamaah telah menetapkan satu kaedah asas dalam menentukan sama ada amal ibadah kita diterima atau ditolak oleh Allah. Adalah penting bagi kita untuk benar-benar memahami kaedah asas ini agar kita tidak melakukan amalan yang sia-sia kerana ia tidak diterima oleh Allah. Kaedah yang dimaksudkan oleh penulis adalah amal ibadah tersebut hendaklah dikerjakan semata-mata ikhlas kerana Allah dan mengikuti (ittiba') sunnah Nabi SAW.

Firman Allah SWT: Dialah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu, siapakah antara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Berkuasa (membalas amal kamu) lagi Maha Pengampun (bagi orang-orang yang bertaubat). (al-Mulk: 2).

Menurut Fudhail bin 'Iyaadh r.h: "Maksud amalan yang lebih baik ialah yang paling ikhlas dan paling benar. Mereka bertanya: Wahai Ali (nama gelaran untuk Fudhail bin 'Iyaadh)! Apakah yang dimaksudkan dengan paling benar dan yang paling ikhlas? Jawab Fudhail bin 'Iyaadh: Sesungguhnya amal itu apabila dikerjakan dengan ikhlas tetapi tidak benar nescaya tidak akan diterima dan apabila amal itu dikerjakan dengan benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima sehingga amal itu dikerjakan dengan ikhlas dan benar. Yang dimaksudkan dengan ikhlas ialah amal itu kerana Allah dan yang dimaksudkan dengan benar ialah amal itu di atas dasar sunnah". - Dinukil daripada kitab al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama), karya Abdul Hakim bin Amir Abdat, Darul Qalam, Jakarta 2002, jilid 2, ms. 258.

Betapa ramai umat Islam di seluruh pelosok dunia yang mengerjakan suatu amalan yang dianggap baik serta ikhlas kerana Allah. Namun, realitinya ia tidak menepati sunnah Rasulullah SAW. Oleh itu, sewajarnya dalam melaksanakan ibadah korban bersempena dengan perayaan Aidiladha ini, kita berusaha sedaya upaya mencontohi sunnah- sunnah Nabi seperti berikut:

Waktu pelaksanaan ibadah korban

Menyembelih binatang korban hanya boleh dilaksanakan setelah selesai solat hari raya Aidiladha dan berlanjutan sehingga akhir hari Tasyriq, iaitu tiga hari selepas solat hari raya Aidiladha.

Oleh itu, penyembelihan haiwan korban boleh dilaksanakan pada 10, 11, 12 dan 13 Zulhijjah. Sabda Rasulullah SAW: "Seluruh hari Tasyriq merupakan waktu penyembelihan". (riwayat Ahmad di dalam Musnadnya, no: 16151).

Haiwan korban tersebut tidak memiliki kecacatan

Kita hendaklah pastikan bahawa haiwan yang hendak kita korbankan tersebut adalah dari jenis baka yang baik serta tidak memiliki kecacatan seperti buta, tempang, kurus, tanduk patah, telinga terkoyak, lemah dan penyakit lain.

Sabda Rasulullah SAW: "Empat jenis binatang yang tidak dibolehkan dalam ibadah korban: Buta sebelah matanya yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, tempang yang jelas bengkoknya, tidak berdaya berjalan dan yang tidak mempunyai lemak (kurus)". (riwayat Abu Daud di dalam Sunannya, no: 2420).

Tidak menggunting rambut dan memotong kuku

Bagi mereka yang ingin melaksanakan ibadah korban, dia tidak boleh menggunting rambut dan memotong kukunya semenjak tarikh 1 Zulhijjah sehingga dia melaksanakan ibadah korban tersebut.

Sabda Nabi SAW: Jika telah masuk 10 hari pertama bulan Zulhijjah dan salah seorang antara kamu semua ingin menyembelih korban, janganlah memotong rambut dan kukunya walau sedikit. (riwayat Muslim di dalam Sahihnya, no: 1977).

Larangan memotong rambut ini termasuk juga mencabut mahupun mencukur atau apa-apa cara yang boleh menghilangkan segala jenis rambut dan bulu di badan.

Menurut Imam al-Nawawi r.a: "Yang dimaksudkan dengan larangan memotong kuku dan rambut adalah larangan menghilangkan kuku dengan memotong, mencabut atau dengan cara lain (secara sengaja). Termasuk juga larangan menghilangkan rambut baik sama ada mencukur, memendek, mencabut, membakar, menggunakan sesuatu untuk menghilangkan rambut dan apa jua cara sama ada pada bulu ketiak, misai, bulu ari-ari, rambut atu bulu-bulu lain di bahagain anggota badan yang lain". (Rujuk Kitab Syarh Muslim karya Imam al-Nawawi, jil. 13, ms. 138-139. Dinukil dari kitab Ahkaam al-'Iedain fis Sunnah al-Muthaharah karya Syeikh 'Ali bin Hassan al-Halabi al-Atsari, Pustaka Imam asy-Syafie, Jakarta (2005), ms. 98).

Bagi mereka yang sengaja atau tidak sengaja memotong kuku ataupun rambut sebelum melaksanakan ibadah korban, memadai dia memohon keampunan kepada Allah dengan bersungguh-sungguh. Dia tidak dikenakan fidyah (tebusan atau denda).

Seekor unta atau lembu boleh dibahagikan kepada tujuh bahagian

Jabir r.a berkata: Kami pernah menyembelih (haiwan korban) bersama Rasulullah ketika di Hudaibiyah. Seekor unta untuk tujuh orang dan menyembelih lembu untuk tujuh orang bersama-bersama Rasulullah SAW. (riwayat Muslim di dalam Sahihnya, no: 1318).

Boleh berkorban untuk diri sendiri serta ahli keluarganya

Seseorang dibenarkan berkorban serta berkongsi pahalanya bagi dirinya sendiri serta bagi pihak keluarganya sekalipun jumlah yang ramai dan hanya dengan seekor kambing atau sebahagian dari tujuh bahagian itu.

Atha' bin Yassar pernah bertanya kepada Abu Ayyub al-Ansori tentang cara berkorban pada zaman Rasulullah lalu Abu Ayyub menjawab: "Dulu seseorang berkorban seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya lalu mereka memakannya dan membahagikannya kepada orang lain". (riwayat al-Tirmizi di dalam Sunannya, no: 1425).

Ibadah korban dilaksanakan di musolla

Menurut sunnah Nabi SAW solat sunat Aidiladha mahupun Aidilfitri dilaksanakan di musolla, tempat terbuka (seperti padang) sehingga khatib dapat melihat semua hadirin.

Dalil disunnahkan solat sunat hari raya di musolla adalah sebuah hadis daripada Abu Sa'id al-Khudri r.a, dia berkata: Pada hari Aidilfitri dan Aidiladha, Rasulullah keluar menuju musolla. Ketika itu yang pertama baginda lakukan adalah solat hari raya. (riwayat Imam al-Bukhari di dalam Shahihnya, no: 956).

Sunnah menyembelih sendiri haiwan korban

Sunnah dan afdal mereka yang ingin melaksanakan ibadah korban tersebut agar menyembelih haiwan korban dengan tangannya sendiri.

Anas r.a berkata: Nabi pernah berkorban dengan dua ekor kambing biri-biri yang bagus lagi bertanduk. Baginda menyembelih kedua-duanya dengan tangan baginda sendiri. (riwayat al-Bukhari di dalam Sahihnya, no: 5565).

Namun, dibolehkan juga bagi mereka yang ingin berkorban mewakilkan penyembelihan kepada orang Islam yang lain.

Menyembelih haiwan korban mengikut sunnah

Hendaklah menyembelih haiwan korban menggunakan objek yang tajam seperti pisau dan dilakukan dengan cepat agar haiwan tersebut mati dengan serta-merta.

Sebelum upacara menyembelih diadakan, baringkan haiwan korban tersebut pada sebelah sisi kirinya agar mudah memegang pisau dengan tangan kanan dan memegang atau menahan lehernya dengan tangan kiri. Ketika menyembelih hendaklah membaca Bismillahir Rahmanir Rahim. Anas r.a berkata: Nabi SAW pernah berkorban dengan dua ekor kambing biri-biri yang bagus lagi bertanduk. Baginda menyembelih kedua-duanya dengan tangan baginda sendiri dengan menyebut nama Allah dan bertakbir seraya meletakkan kaki baginda pada lambung kedua-duanya. (riwayat al-Bukhari di dalam Sahihnya, no: 5565).

Ketika menyembelih kita hendaklah mengerat salur udara, kerongkong dan saluran darah leher haiwan tersebut tanpa mengerat gentian saraf di dalam tulang belakang. Darah dari anggota badan haiwan korban tersebut hendaklah dialirkan keluar sepenuhnya sebelum melapahnya.

Daging korban tersebut boleh dimakan, disedekah dan dihadiahkan

Sunnah bagi keluarga yang melakukan ibadah korban turut memakan sebahagian daging, menghadiahkan sebahagiannya kepada orang lain dan menyedekahkan sebahagian yang lain. Malah, mereka juga boleh menyimpan daging tersebut. Sabda Nabi SAW: Makan dan simpanlah serta sedekahkanlah (daging korban itu). (riwayat al-Muslim di dalam Sahihnya, no: 1971).

Tidak boleh mengupah tukang sembelih dengan daging korban

Menjadi lumrah bagi masjid-masjid di Malaysia memberi(memberi sebagai hadiah atau sedeqah)kepada tukang sembelih daging korban tersebut bukan sebagai upah bagi kerjanya. Perbuatan ini bertentangan dengan syarak dan dilarang keras oleh Rasulullah.

Upah kepada tukang sembelih hendaklah diberikan menggunakan harta sendiri dan bukannya dari hasil daging binatang korban itu.Diharapkan budaya tolong-menolong dan bergotong ruyong dinagara kita atas kerja-kerja kebaikan dapat diserapkan dengan perasaan ikhlas dan kaseh mesra dalam masyarakat,ini amat digalakkan dalam agama tanpa boleh dipertikaikan lagi,

Ali r.a berkata: Nabi SAW pernah menyuruhku menyempurnakan seekor unta milik baginda kemudian menyedekahkan daging, kulit dan pelindung yang dikenakannya serta aku juga tidak memberi apa pun kepada tukang sembelih tersebut. Dia berkata: Kami memberinya dengan harta kami sendiri. (riwayat Muslim di dalam Sahihnya, no: 1317).