Sunday, May 25, 2008

Penjelasan Bid'ah

I. Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.


Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid'ah dhalalah.

Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yg membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yg tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal-hal yg baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yg tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM..dst, “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yg baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam.

Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yg bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa-apa yg sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yg membuat buat hal baru yg berupa keburukan...dst”, inilah yg disebut Bid’ah Dhalalah. Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yg baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yg ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yg buruk (Bid’ah dhalalah).

Mengenai pendapat yg mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yg dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

II. Siapakah yg pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yg mereka itu para Huffadh (yg hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yg baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, ada yg tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yg memulainya.

Kita perhatikan hadits yg dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yg membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan-akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yg berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yg mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati-hatilah dengan hal-hal yg baru, sungguh semua yg Bid'ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).

Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yg baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yg baru, yg tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.

Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik-baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu. Demikian pula hal yg dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).

Siapakah yg salah dan tertuduh?, siapakah yg lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

III. Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yg menolak bid’ah hasanah inilah yg termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yg merupakan Bid’ah dhalalah, hal yg telah diperingatkan oleh Rasul saw.

Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.

Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.

Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yg telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yg berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal-hal baru yg berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).

Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.

Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.

Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yg kumuliakan, hati yg jernih menerima hal-hal baru yg baik adalah hati yg sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yg dijernihkan Allah swt, Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yg maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.

Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin.


IV. Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah

1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat-buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram. Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg Mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

4. Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yg bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yg disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yg tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam?

Walillahittaufiq

Kenduri Arwah

Salam sy terpanggil untuk memperkatakan sedikit tentang isu kenduri Arwah. Dari segi definasi kenduri Arwah ialah kenduri yang dilakukan disebabkan berlakunya kematian.

Rasulullah s.a.w ketika mendengar berita kematian Jaafar ibn Abi Talib, baginda bersabda: “Persiapkan makanan untuk keluarga Ja’far, kerana sesungguhnya mereka telah didatangi dengan apa yang menyibukkan mereka (kesusahan).” - Hadith riwayat al-Tirmidhi & Abu Dawud.

Berdasarkan kepada Hadis diatas menunjukkan adanya suruhan dari Nabi saw untuk mengadakan kenduri secara jelas

Di dalam Al-Quran
Keluarga si mati yang baru ditimpa musibah(al-Baqarah:155-157) perlu disokong dan dibantu.

Persoalannya disini realiti masyarakat kita pada hari ini. Kebiasaannya yang mengadakan kenduri ialah dikalangan ahli keluarga simati itu sendiri.

Kenduri yang sepatutnya dilakukan oleh bukan dari kalangan ahli keluarga si mati. Ini berdasarkan kepada suruhan Nabi saw tadi tetapi kini telah diambil alih oleh keluarga simati.

Adakah ada hadis yang melarang melakukannya?

Dari Amirul Mu’minin Abu Hafs ‘Umar ibnu Al-Khathab radhiyalallahu ta’ala ’anhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia niatkan’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh kerana niat itu didalam hati maka lapangkan lah dada dan bersangka baik kepada mereka

Sebagai Hamba Allah swt segala perselisihan perlu kembalikan kepada Allah swt dan RasulNya

Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).

Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa sedekah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)

Maka bila keluarga rumah simati menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg kematian, mereka menjamu tetamu dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah


surat Al Insan 8 - 9
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

Al Baqarah 265
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.

Al Baqarah 264
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).

Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :

1. Ucapan Imam nawawi , beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :

من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga simati yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh berbeza dengan rumah simati yg menyediakan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.

3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.

5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).

dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.

Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya.

Sebagaimana Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan adalah memberatkan mayyit, namun masa kini bila anda hadir jenazah lalu mereka hidangkan makanan dan anda katakan haram (padahal hukumnya makruh) maka hal itu malah menghina dan membuat sedih keluarga yg wafat,

lihat Akhlak Rasulullah saw, beliau tahu bahwa pembuatan makan makan di rumah simati adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun beliau mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya,
kenapa?, tak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan makan itu bila akan menghibur mereka maka perbuatlah!, itu sunnah Muhammad saw.

Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah wang atau hadiah untuk membantu mereka.

Malah Allah swt akan membalas ejekan mereka seperti mana didalam Quran

Orang-orang (munafik) yang mencela sebahagian dari orang-orang yang beriman mengenai sedekah-sedekah yang mereka berikan dengan sukarela, dan (mencela) orang-orang yang tidak dapat (mengadakan apa-apa untuk disedekahkan) kecuali sedikit sekadar kemampuannya, serta mereka mengejek-ejeknya, - Allah akan membalas ejek-ejekan mereka, dan bagi mereka (disediakan) azab seksa yang tidak terperi sakitnya. (At-Taubah ,79)

Semoga kita semua terselamat dan di Jauhkan kami dari tergolong dari kalangan orang disebutkan...Amin

Tuesday, May 20, 2008

Pengertian Islam

Pengertian Islam

Islam yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW tentunya tidak boleh disamakan dengan pengertian perkataan agama menurut fahaman manusia pada umumnya, iaitu berupa ajaran yang menyatakan tentang hubungan antara manusia dengan kuasa ghaib. Ketidaksamaan pengertian ini kerana Islam sebagai ad-Deen yang merangkumi keseluruhan lapangan kehidupan manusia itu adalah terkandung di dalamnya aqidah, amalan dan hukum-hukum berhubungan dengan rohani dan jasmani. Fardiyyah dan jamaiyyah, agama dan politik dan segala urusan hidup di dunia dan akhirat adalah lebih luas dari pengertian agama sahaja.

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran untuk menerangkan segala-galanya dan petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang-orang Muslimin.” An-Nahl: 89

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu dan telah Aku cukupkan bagi kamu nik’mat-Ku dan telah Aku redha Islam itu menjadi Agama kamu.” Al-Maidah: 3

Rasulullah SAW memberi berbagai-bagai ta’arif tentang Islam menurut keadaan orang yang bertanya, iaitu dengan hanya menyebut beberapa juzu’ yang menjadi rukun tanpa menyebut secara keseluruhannya. Di dalam satu hadith, ketika menjawab pertanyaan Malaikat Jibrail AS tentang apa dia Islam, Rasulullah SAW telah bersabda yang bermaksud:

“Islam itu bahawa kamu menyaksikan tidak ada Tuhan yang sebenar melainkan Allah dan Nabi Muhammad itu Rasulullah, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan mengerjakan haji jika berkuasa.” Riwayat Imam Muslim.

Sabda Rasulullah SAW lagi yang bermaksud:

“Dibinakan Islam itu di atas lima perkara. Bersyahadah bahawa tidak ada Tuhan yang sebenar melainkan Allah dan bahawa Nabi Muhammad itu Rasulullah , mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, Haji ke Baitullahil Haram dan puasa Ramadhan.” Riwayat Bukhari dan Muslim

Ketika menjawab pertanyaan dari seorang yang bertanya apakah Islam? Rasulullah SAW telah bersabda yang bermaksud:

Rasulullah bersabda: “Lima sembahyang sehari semalam,”

Lalu dia bertanya: “Adakah wajib pada saya selain daripadanya?”

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak melainkan yang sunat.” Lalu Rasulullah SAW menyebut: “Zakat.”

Dia bertanya lagi: “Adakah wajib kepada saya lain daripadanya?”

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak, melainkan yang sunat.”

Lalu dia berpaling dan berkata: “Aku tidak menambah dan mengurangkan daripadanya.”

Rasulullah SAW bersabda: “Dia mencapai kemenangan kalau dia benar, atau dia masuk Syurga jika dia benar-benar begitu.”

Hadith tersebut hanyalah menyatakan tentang rukun rukun Islam dan bukannya menyatakan keseluruhan ajaran Islam kerana Islam yang terkandung di dalam al-Quran serta dijelaskan oleh Rasulullah SAW itu adalah lebih luas daripada apa yang disebut di dalam rukun-rukun Islam. Sesungguhnya disana masih ada lagi disebut tentang akhlaq, ekonomi, kemasyarakatan, rumahtangga, negara, perdamaian, peperangan, balasan baik dan jahat. Kalau sekiranya kita buka kitab-kitab Feqah pula, maka kita dapat melihat di dalamnya tentang hukum-hukum ibadat, mu’amalat, kehakiman, perundangan, jihad dan sebagainya. Begitu juga halnya dengan kitab-kitab hadith seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim yang bukan sahaja sekadar menyebut rukun-rukun Islam tetapi adalah menyebut lebih daripada itu.

Di sini saya kemukakan beberapa ta’arif Islam sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh ulama’-ulama’ berdasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Di antaranya ialah:

1. Islam bererti tunduk dan menyerah diri kepada Allah SWT serta menta’ati-Nya yang lahir dari kesedaran dengan tidak dipaksa kerana ketundukan yang seperti itu tanpa perhitungan pahala dan dosa.

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah padahal kepada-Nya menyerah diri segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik dengan suka mahupun terpaksa dan kepada Allah mereka dikembalikan.” (Ali-Imran: 83)

Adapun ketundukan dengan penuh kesedaran adalah hakikat Islam dan dalam keadaan tundukyang seperti itu timbul pahala dan dosa. Sesungguhnya tanda bukti penuh ketundukan kepada Allah SWT ialah redha menerima agama-Nya yang diiringi pula dengan penuh kesedaran. Ini adalah lantaran Islam menurut pengertian ini adalah merupakan agama yang diredhai Allah, agama yang diwahyukan kepada Rasul-Rasul-Nya Alaihis solatu Wassalam untuk disampaikan kepada seluruh manusia.

Firman Allah SWT

Maksudnya:

“Dan barangsiapa yang mencari selain daripada Islam, maka tidak akan diterima daripadanya dan dia akhirat nanti termasuk di kalangan orang-orang yang rugi.” (Ali-Imran: 85)

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Dan barangsiapa yang menyerah dirinya (Islam) kepada Allah sedangkan dia sebagai orang yang berbuat demikian, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada simpulan tali yang kukuh dan hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub, Ibrahim berkata): ‘Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagumu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda mati), ketika dia berkata kepada anak-anaknya: “Apakah kamu sembah selepas aku meninggal? Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq, iaitu Tuhan yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (al-Baqarah: 132-133)

Kemudian dikhususkan Islam itu dengan ad-Deen yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dari Tuhannya dengan mengikut sepenuhnya tanpa qaid dan syarat. Maka dengan itu lahirlah ketundukan kepada Allah Rabbil Alamin secara khusyuk dan Ikhtiari. Jadi, berdasarkan kepada itu maka ta’arif Islam itu ialah:

Kepatuhan secara Ikhtiari kepada Allah SWT yang dilahirkan secara mengikut Syariat Allah SWT sebagaimana yang di wahyikan kepada Nabi Muhammad SAW dan diperintah supaya menyampaikannya kepada manusia.

2. Islam adala Nidzam (peraturan), perundangan yang lengkap bagi mengatur kehidupan manusia dan menjadi dasar akhlaq yang mulia yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW daripada Allah SWT, guna disampaikan kepada manusia serta menyatakan apa yang mengenai orang yang mengikuti dan menentang sama ada dosa dan pahala.

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Dan barangsiapa yang mencari selain daripada Islam maka dia tidak akan diterima daripadanya dan diakhirat nanti dia termasuk di kalangan orang-orang yang rugi.” (Ali-Imran: 85)

3. Islam itu ialah kumpulan peratuan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW yang terkandung di dalamnya peraturan-peraturan yang berbentuk aqidah, akhlak, mu’amalat dan segala berita yang disebut di dalam al-Quran dan as-Sunnah adalah diperintah agar disampaikan kepada manusia.

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), bererti kamu tidak menyampaikan risalah Allah dan Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (al-Maidah: 67)

Maksud ‘apa yang diturunkan itu’ ialah al-Quran dan as-Sunnah yang terkandung di dalamnya segala hukum-hukum yang tersebut di atas. Itulah dia yang dikatakan Islam.

4. Islam ialah keseluruhan ad-Deen yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang terkandung di dalamnya perkara-perkara yang berhubungan dengan aqidah, amalan dan hukum yang disertai dengan kepatuhan secara dzahir dan batin dengan penuh keikhlasan.

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Bahkan seiapa yang menyerah dirinya kepada Allah sedangkan dia berlaku baik, maka baginya ganjaran di sisi Tuhannya dan tidak ada takut bagi mereka dan mereka tidak juga berdukacita.” (al-Baqarah: 112)

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama kerana-Nya (dengan menjauhi kesesatan) dan supaya mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat kerana yang demikian itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)

5. Islam dengan makna menyerah diri secara dzahirsahaja sekalipun dengan tidak ada Iman di dalam hati. Islam yang seperti ini tidak memberi apa-apa faedah kepada penganutnya.

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Orang badwi berkata, “Kami telah beriman,” Katakanlah kepada mereka, “Kamu belum beriman,” tetapi katakanlah, “ Kami telah Islam, kerana Iman itu belum masuk ke dalam hati-hati mereka.” (al-Hujurat: 14)

Diriwayatkan dalam hadith Rasulullah SAW oleh Saad bin Abi Waqqas yang bermaksud:

Rasulullah SAW memberi kepada satu rombongan yang baru menganut Islam beberapa pemberian dengan Saad bin Abi Waqqas ada bersama-sama. Kemudian Rasulullah SAW meninggalkan seorang daripada mereka dengan tidak diberikan apa-apa pemberian. Saya (Saad) merasa kagum dengan lelaki itu. Lalu saya bertanyakan Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, mengapakah bersikap sedemikian terhadapnya? Maka demi Allah saya melihat dia beriman.”

Rasulullah SAW menjawab: “Adakah dia Islam?”

Kemudian Rasulullah SAW diam dan saya sendiri masih lagi mempunyai anggapan menurut apa yang saya tahu.

Lalu saya bertanya pula: “Ya Rasulullah, mengapakah bersikap sedemikian terhadapnya? Demi Allah saya melihat dia beriman.”

Rasulullah bersabda: “Adakah dia Islam?”

Kemudian Rasulullah SAW diam dan anggapan saya terhadap lelaki tersebut masih seperti dulu.

Lalu saya bertanya semua: “Bagaimanakah anggapan Rasulullah SAW terhadapnya? Demi Allah saya melihat dia beriman.”

Rasulullah SAW bersabda: “Apakah dia Islam? Sesungguhnya aku akan berikan kepada lelaki dan lain-lainnya. Lebih aku suka, kerana aku takut dihumbankan mukanya ke dalam neraka.

6. Islam merupakan jawapan yang tepat kepada tiga pertanyaan yang dikemukakan kepada setiap manusia sama ada dahulu ataupun sekarang, iaitu:

Dari mana dia datang?

Mengapakah dia dijadikan?

Kemanakah dia akan dikembalikan?

Jawapan kepada tiga pertanyaan tersebut ialah ‘Islam’ yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Pertanyaan yang pertama, iaitu ‘Dari mana dia datang?’ ada terkandung di dalam firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Wahai manusia, jika kamu ragu tentang kebangkitan pada hari qiamat, maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setitik mani, kemudian dari seketul darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan tidak sempurna kejadiannya supaya Kami terangkan kepada kamu (kekuasaan Kami) dan Kami letakkan di tempat peranakan (di dalam rahim) apa yang Kami kehendaki hingga satu masa tertentu, kemudian (Kami pelihara) hingga kamu sampai tegap teguh, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan sebahagian dari kamu dikembalikan kepada usia yang paling lanjut supaya ia tidak tahu apa-apa lagi sesudah tahu. (Al-Hajj: 5)

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Dan sesungguhnya Kami telah jadikan manusia dari air yang terasing dari tanah. Kemudian Kami jadikan dia setitik mani ditempat ketetapan yang terpelihara. Kemudian Kami jadikan mani itu seketul darah, lalu Kami jadikan darah itu segumpal daging. Kemudian daging itu Kami jadikan tulang, lalu tulang-tulang itu Kami liputi dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia satu kejadian yang lain sifatnya. Maha Suci Allah sebagai pencipta. (Al-Mu’minuun: 12 – 14)

Firman Allah SWT:

Maksudnya:

Maka cubalah manusia itu melihat dari apa yang ia dijadikan. Dijadikan dia dari air yang terpancar yang keluar dari Sulbi laki-laki dan Thara’ib (tulang dada perempuan) (Ath-Thariq: 5 – 7)

Pertanyaan kedua, iaitu ‘Mengapa dia dijadikan?’ adalah terkandung di dalam firman Allah SWT:

Maksudnya:

“Dan Aku tidak jadikan Jin dan Manusia itu melainkan supaya mereka meng’abdikan diri kepadaKu.” (Adz-Dzaariaat: 56)

Di mana peng’abdian itu berlaku dengan ma’rifatullah (kenal Allah SWT), kasih kepada-Nya, tunduk, patuh dan mengikut kedudukan yang layak yang disediakan bagi mereka, agar mereka mencapai kebahagiaan sebenarnya di dunia dan akhirat.

Pertanyaan ketiga iaitu, ‘Kemanakah dia dikembalikan?’ adalah terkandung di dalam firman Allah SWT.

Maksudnya:

Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan bersungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (Al-Insyqaaq: 6)

Firman Allah SWT.

Maksudnya:

“Allah mencipta manusia dari permulaan, kemudian mengembalikannya (menghidupkannya) kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Ar-Ruum: 11)

Firman Allah SWT.

Maksudnya:

Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu, lalu Ia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Az-Zumar: 7)

Firman Allah SWT.

Maksudnya:

Dan bahawasanya hanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu) (An-Najm: 42)

Firman Allah SWT.

Maksudnya:

Seungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembalimu. (Al-Alaq:8)

Ayat-ayat tersebut menyatakan kesudahan manusia. Iaitu manusia itu dikembalikan kepada Allah SWT untuk dibuat perhitungan dan balasan terhadap amalan mereka di dunia. Seterusnya ditentukan tempat yang sewajarnya bagi diri masing-masing. Sesiapa sahaja yang bersih juwanya dengan Iman dan ‘Amal Soleh’ telah dijanjikan syurga dan kepada sesiapa yang kotor jiwanya dengan kufur dan maksiat, maka balasannya ialah neraka.

7. Islam merupakan penghayatan yang sebenar bagi manusia, merupakan cahaya petunjuk dalam kehidupan, merupakan ubat yang mujarab untuk mengatasi; memperbaiki masyarakat dan jalan yang sebenaryang tidak mungkin sesat kepada sesiapa yang melaluinya.

Firman Allah SWT.

Maksudnya:

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah Iman itu, tetapi Kami jadikan al-Quran itu cahaya yang Kami tunjuki dengan dia sesiapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami dan sesungguhnya Kami benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, iaitu jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Ingatlah bahawa kepada Allah kembali segala urusan. (Asy-Syuura: 52 – 53)

Firman Allah SWT.

Maksudnya:

Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al-Israa’: 82)

Segala takrif yang tersebut di atas hanyalah beberapa contoh sebagai susulan dari berbagai-bagai lagi takrif yang dikemukakan oleh ulama’. Kesemua takrif dapat diterima asalkan ianya merangkumi maksud ajaran yang terkandung di dalam Islam dan sesungguhnya kesemua takrif itu tidak lah bercanggahan bahkan beriringan di antara satu sama lain. Adanya kepelbagaian takrif adalah menunjukkan kepada kita betapa syunulnya Islam sehingga tidak ada perkataan yang dapat kita terjemahkan bagi memberi makna yang seerti dengan hakikat Islam.

Monday, May 19, 2008

Agama itu adalah Nasehat



Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu ‘anh, “Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Agama itu adalah Nasehat , Kami bertanya : Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim” [Muslim no. 55]

Tamim Ad Daari hanya meriwayatkan hadits ini, kata nasihat merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara dengan kata nasihat, sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahasa arab tentang kata Al Fallaah yang tidak memiliki padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.

Kalimat, “Agama adalah Nasihat” maksudnya adalah sebagai tiang dan penopang agama, sebagaimana sabda Rasulullah, “Haji adalah arafah”, maksudnya wukuf di arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji. Tentang penafsiran kata nasihat dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama lain mengatakan :

  1. Nasihat untuk Allah maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik dan sikap ingkar terhadap sifat-sifat-Nya, memberikan kepada Allah sifat-sifat sempurna dan segala keagungan, mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu semata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur atas segala nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan segala kebaikan, menganjurkan orang berbuat kebaikan, bersikap lemah lembut kepada sesama manusia. Khathabi berkata : “Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut, kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan kebaikan dari siapapun”
  2. Nasihat untuk kitab-Nya à maksudnya beriman kepada firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada Rasul-Nya, mengakui bahwa itu semua tidak sama dengan perkataan manusia dan tidak pula dapat dibandingkan dengan perkataan siapapun, kemudian menghormati firman Allah, membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkan dengan baik dengan sikap rendah hati dalam membacanya, menjaganya dari takwilan orang-orang yang menyimpang, membenarkan segala isinya, mengikuti hokum-hukumnya, memahami berbagai macam ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran, merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia pada hal-hal sebagaimana tersebut diatas dan menimani Kitabullah
  3. Nasihat untuk Rasul-Nya maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun setelah wafat, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati hak-haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya, menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik, menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmunya dan mengajak manusia pada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan sesuatu yang tidak diketahui sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meninggalkan orang yang melakukan perkara bid’ah dan orang yang tidak mengakui salah satu sahabatnya dan lain sebagainya.
  4. Nasihat untuk para pemimpin umat islam maksudnya menolong mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahu mereka apa yang menjadi hak kaum muslim, tidak melawan mereka dengan senjata, mempersatukan hati umat untuk taat kepada mereka (tidak untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya), dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama mereka dan mendo’akan mereka agar mereka mendapatkan kebaikan.
  5. Nasihat untuk seluruh kaum muslim à maksudnya memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat memberikan kebaikan bagi merela dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan diri dari hal-hal yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka berbuat kemungkaran dengan sikap santun, ikhlas dan kasih sayang kepada mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda, memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian, mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi hak miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana dia sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka dan sebagainya baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka menerapkan perilaku-perilaku tersebut diatas. Wallahu a’lam Memberi nasihat merupakan fardu kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini merupakan keharusan yang dikerjakan sesuai kemampuan. Nasihat dalam bahasa arab artinya membersihkan atau memurnikan seperti pada kalimat nashahtul ‘asala artinya saya membersihkan madu hingga tersisa yang murni, namun ada juga yang mengatakan kata nasihat memiliki makna lain.
MasyaAllah... apabila membaca artikel yang menarik ini. Kita mesti bertanya kepada diri sendiri apakah aku ini orang yang beragama? Jawapannya terserah kepada diri kita sahaja yang mengetahui akan halnya . Adakah perbuatan kita, tuturkata kita selaras dengan kehendak islam

Wallahu a’lam