Friday, October 31, 2008

Dimanakah Allah?

Dimanakah Allah?


Pertanyaan ini sering sekali muncul dan mendorong kepada perdebatan, serta menjadi salah satu bahan perpecahan. Bahkan ada yang menjadikannya alat untuk mengkafir-kafirkan, dan memecah persatuan umat Islam.

Secara akal waras, sebenarnya jawaban pertanyaan ini sederhana:

Allah SWT adalah Zat yang Maha Mutlak (Absolut), tidak ada yang membatasi-Nya, tidak ada serupa dengan-Nya. Dialah yang mencipta ruang, waktu dan hukum-hukum di alam semesta. Karenanya Dia adalah Zat yang tidak terbatasi oleh ruang, waktu dan hukum-hukum alam. Sehingga pertanyaan di mana, ke mana, dari mana (yang menunjukkan keterikatan tempat), serta kapan (yang menunjukkan keterikatan waktu) tidak berlaku bagi-Nya.

Namun dalam pembicaraan sehari-hari, ungkapan Allah SWT itu ada di mana-mana, sangat dekat, menyertai kita, atau di berada di atas langit, di atas Arsy (Singgasana), adalah hal yang biasa sahaja dan benar serta memiliki dasar dalam Al-Quran dan Sunah. Namun hendaknya hal ini dipahami makna yang bukan ruang, tetapi lebih merupakan kualiti. Bahawa Allah sangat menguasai alam semesta, sehingga tidak ada yang lepas dari-Nya, sekaligus Dia sangat dekat, dan hadir di mana pun kita berada.


Sedang secara Naqli berdasarkan pemahaman para ulama adalah sebagai berikut:

Pemahaman bahwa Allah SWT ada tanpa memerlukan tempat adalah kepercayaan dan aqidah yang benar dari Rasulullah SAW, para Ahlul Bait, Sahabat dan para pengikutnya yang benar hingga Hari Kiamat. Dalil dari pemahaman ini adalah Qur'an, Surat ash-Shura, ayat 11:

Yang berarti: "Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat".

Ayat ini menjelaskan dengan jelas dan pasti bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk. Itu mencakup bahawa Allah SWT berbeza dengan makhluknya dalam sifat dan perbuatan. Itu bererti bahwa Allah SWT ada tanpa memerlukan tempat, karena sesuatu yang ada dalam suatu tempat (ruang), secara alami, terdiri dari atom-atom atau bagian-bagian, yaitu dia merupakan suatu jasad, bentuk tubuh, menempati ruang, dan Allah SWT jelas terlepas dari semua ruang.

Al-Bukhariyy, al-Bayhaqiyy dan Ibn al­Jarud menyatakan bahwa Rasulullah SAW, bersabda:

yang artinya: "Allah ada abadi dan tidak ada selain-Nya"

Hadis ini membuktikan bahwa Allah adalah sendiri dalam al-'azal (keadaan tanpa awal), yaitu sebelum penciptaan segala sesuatu. Tidak ada yang lain menyertai-Nya: Tidak ada tempat, tidak ada ruang, tidak ada langit, tiada cahaya, tiada kegelapan. Berdasarkan ketentuan agama dan pemikiran yang sehat adalah bahwa Allah SWT tidak mengalami perubahan. Dengan demikian, tidak mungkin bahwa setelah ada tanpa tempat, Dia menjadi berada dalam suatu tempat. Karena hal ini berarti ada perubahan, dan perubahan ini adalah tanda dari memerlukan yang lain, dan sesuatu yang memerlukan yang lain bukanlah Tuhan.

Imam Abu Mansur al-Baghdadiyy dalam buku, Al-Farqu Bayn al­Firaq, dinyatakan bahwa Imam ^Aliyy ra berkata::

Yang berarti bahwa: "Allah ada tanpa tempat, dan Dia sekarang seperti Dia di waktu dulu (yaitu tanpa tempat)".

Imam Abu Hanifah, salah satu ulama as-Salaf, mengatakan dalam Al-Fiqh al­Absat: "Allah Ta'ala ada abadi tanpa tempat, dan Dia ada sebelum mencipta makhluk. Dia telah ada dan ketika tidak ada tempat, makhluk atau benda-benda. Dia adalah Pencipta segala sesuatu"

Imam al-Hafidh al-Bayhaqiyy mengatakan dalam bukunya, Al-Asma'u was-Sifat, hal. 400: ".... Apa yang disebut di akhir hadis adalah indikasi penolakan bahwa Allah memiliki tempat dan penolakan bahwa hamba menyerupai Allah, seberapa pun dia, baik dekat maupun jauh. Allah Ta'ala adalah Adh-Dhahir, sehingga benar untuk mengetahui-Nya dengan bukti-bukti. Allah adalah Al-Bathin, sehingga tidak benar jika Dia berada dalam suatu tempat." Dia juga berkata, " Beberapa dari sahabat kita menggunakan sebuah bukti untuk membantah adanya tempat bagi Allah dengan hadis Rasululla SAW: "Engkau adalah Adh-Dhahir dan tidak ada di atas-Mu, dan Engkau adalah Al-Batin dan tidak ada yang di bawah-Mu". Dengan demikian, jika tidak ada yang di atas dan di bawah Dia, Dia tidaklah di suatu tempat."

Imam Ahmad Ibn Salamah, Abu Ja^far at­Tahawiyy, (lahir 237 H),menulis buku Al-^Aqidah at­Tahawiyyah. Dia menyebut bahwa isi bukunya adalah sebuah penjelasan dari Aqidah Ahl as­Sunnah wal Jama^ah, yaitu Aqidah Imam Abu Hanifah, (meninggalkan 150 H) dan dua sahabatnya, Imam Abu Yusuf al-Qadi and Imam Muhammad Ibn al­Hasan ash-Shaybaniyy serta lainnya. Dia menulis: "Dia di luar dari memiliki batas tempat atas-Nya, atau dibatasi, atau memiliki bagian-bagian atau anggota tubuh. Tidaklah Dia dikenai arah sebagaimana makhluk." Demikian perkataan Imam Abu Ja^far yang merupakan salah ulama as-Salaf. Dia secara jelas menyatakan bahwa Dia terbebas dari dikenai 6 arah: atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang.

Ahli bahasa dan ulama hadith, Imam Muhammad Murtada az-Zabidiyy, meriwayatkan secara bersanad dari dia sendiri hingga Imam Zayn al-^Abidin ^Aliyy Ibn al-Husayn Ibn ^Aliyy Ibn Abi Talib, (juga di antara as-Salaf, bergelar as-Sajjad, yang banyak bersujur), bahwa Zayn al-^Abidin mengatakan dalam as­Sahifah as-Sajjadiyyah mengenai Allah:

artinya: "Mahasuci Engkau Ya Allah, dari segala ketidaksempurnaan, Zat yang tidak ada tempat membatasi-Mu"

Dia juga berkata:

artinya: "Mahasuci Engkau, Ya Allah, dari segala ketidaksempurnaan. Zat yang tidak ada tempat membatasi-Mu"

Ketika menjelaskan Sahih Al-Bukhari bab Al-Jihad Hafidh Ibn Hajar mengatakan,"Kenyataan bahwa kedua arah atas dan bawah adalah mustahil disifatkan kepada Allah, tidak berarti bahwa Allah tidak dapat disifati dengan ketinggian, karena sifat ketinggian dari Allah adalah mengenai kedudukan dan ketidakmungkinan terletak pada sifat fisik".

Imam Zayn ad-Din Ibn Nujaym, ulama Hanafiah, dalam buku Al-Bahr ar­Ra'iq, hal 129: "Siapa yang mengatakan bahwa mungkin bagi Allah untuk berbuat tanpa keadilan/kebijaksanaan telah bertindak dosa, dan berdosa juga dia yang memastikan tempat bagi Allah Ta'ala".

Imam Ahmad ar-Rifa^iyy al-Kabir, (600 H) berkata:

artinya: "Pengetahuan utama mengenai adalah adalah memastikan/meyakini bahwa Allah ada tanpa bagaimana dan tempat"

Imam Muhammad Ibn Hibah al-Makkiyy, dalam buku Hada'iq al-Fusul wa Jawahir al-^Uqul,--juga disebut Al-^Aqidat-as-Salahiyyah karena dia memberinya sebagai hadiah kepada Sultan Salah-ad-Din al-Ayyubiyy yang telah meminta buku ini untuk di ajarkan pada anak-anak di sekolah-sekolah dan disiarkan dari atas menara - berkata:

artinya: "Allah SWT itu ada abadi dan tidak ada tempat bagi-Nya, dan keputusan bahwa keberadaan-Nya sekarang sebagaimana Dia dahulu, yaitu tanpa tempat"

Imam Ja^far as-Sadiq, salah satu ahlul bait Nabi SAW, berkata: "Orang yang menyatakan bahwa Allah berada dalam sesuatu atau di atas sesuatu atau dari sesuatu, telah berbuat kesyirikan. Karena jika Dia di dalam sesuatu, maka Dia terlingkupi/dibatasi, dan jika Dia di atas sesuatu berati Dia dibawa (sesuatu). Dan jika Dia dari sesuatu, berarti Dia seperti makhluk."

Shaykh ^Abdul-Ghaniyy an-Nabulsiyy berkata: "Dia yang percaya bahwa Allah memenuhi langit dan bumi atau bahwa Dia adalah duduk secara fisik di atasal-^arsh (Singgasana) dia telah kafir."

Imam Abul-Qasim ^Aliyy Ibnul-Hasan Ibn Hibatillah Ibn ^Asakir berkata dalam bukunya Aqidah: "Allah telah ada sebelum penciptaan. Dia tidak memiliki sebelum dan sesudah, atas atau bawah, kanan atau kiri, di depan atau di belakang, sebagian atau seluruh. Tidak bisa dikatakan kapan bagi Dia, di mana bagi Dia, atau bagaimana bagi Dia. Dia ada tanpa tempat".

Imam Abu Sulayman al-Khattabiyy berkata: "Apa yang menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk diketahui adalah bahwa Tuhan kita tidak memiliki bentuk, karena bentuk memiliki "bagaimana", dan "bagaimana" tidak berlaku bagi Allah atau disifatkan bagi-Nya. Mengetahui tanpa ragu bahwa pertanyaan "bagaimana" tidak berlaku bagi Allah, karena ini adalah pertanyaan tentang bentuk, tubuh, tempat, kedalaman, dan dimensi, Allah Mahasuci dari segala hal itu.

Imam al-Ghazaliyy berkata: " Allah, Ta'ala, ada selamanya dan tidak memerlukan tempat. Dia bukan tubuh, jauhar (atom), atau benda, dan Dia tidak di atas suatu tempat atau di dalam suatu tempat."

Segala pernyataan ini menunjukkan bahwa mensifatkan ketinggian dan tempat yang bersifat fisik adalah bertentangan denganAl-Quran, Hadis, Ijma' dan dalil akal. Bukti akal bahwa Allah ada tanpa tempat, terletak pada fakta bahwa sesuatu yang berada di dalam suatu area, dan sesuatu yang memiliki suatu tempat adalah memerlukan tempat, dan bahwa sesuatu yang memerlukan yang lain bukanlah Tuhan. Lebih lanjut, sebagaimana akal menyatakan bahwa Allah ada tanpa berada di suatu tempat sebelum tempat diciptakan, dan akal menyatakan bahwa Allah menciptakan tempat-tempat dan tetap ada tanpa suatu tempat.

Ulama seperti Imam Ahmad ar­Rifa^iyy menyatakan bahwa mengangkat tangan dan wajah ketika melakukan doa adalah karena langit adalah kiblatnya doa, sebagaimana Ka'bah adalah kiblatnya salat. Dari langit kasih dan rahmat dari Allah turun.

Dengan demikian, adalah jelas bagi orang yang mencari kebenaran tentang Allah ada tanpa memerlukan tempat adalah sesuai dengan Quran, Hadis, Ijma' dan pedoman akal yang jelas. Yakinkan bahwa sebelum tempat diciptakan, Allah Yang Menciptakan segala sesuatu (termasuk tempat dan lainnya) ada tanpa tempat, dan sesudah tempat tercipta Allah tetap tidak memerlukan tempat.

Karena kita sebagai Muslim berkeyakinan adalah bahwa Allah ada tanpa berada/memerlukan tempat dan bahwa pertanyaan "bagaimana" tidak berlaku bagi Allah, maka adalah jelas bagi kita bahwa Arsy (singgasana) yang merupakan ciptaan Allah terbesar dan merupakan langit-langit sorga, adalah bukan tempat bagi Allah SWT.

Imam Abu Mansur al-Baghdadiyy menyatakan bahwa Imam ^Aliyy Ibn Abi Talib kw. berkata:

artinya: "Allah menciptakan Arsy sebagai tanda Kekuasaan-Nya dan tidak menjadikan sebagai tempat bagi-Nya."

Imam Abu Hanifah dalam al­Wasiyyah, berkata: " ... dan Dia adalah Penjaga Arsy dan selain Arsy, tanpa memerlukannya, Dia-lah yang diperlukan... Lagian, Apakah Dia ada di suatu tempat yang diperlukan untuk duduk dan istirahat, sebelum Arsy diciptakan? Dimana Allah ketika itu?". Jadi, pertanyaan "Di mana Allah" tidak berlaku bagi-Nya, karena tidak mungkin.

Juga, dalam bukunya Al-Fiqh al-Absat, Imam Abu Hanifah berkata: "Allah selalu ada abadi, dan tidak memerlukan tempat, makhluk atau barang, tetapi Dia-lah Pencipta segala sesuatu. Orang yang berkata 'Saya tidak tahu apakah Tuhanku ada di bumi atau di langit" adalah kafir. Juga kafir orang yang mengatakan 'Dia ada di atas Arsy tetapi saya tidak tahu apakah Arsy ada di langit atau di bumi.'"

Lebih lanjut, Imam Abu Hanifah menyatakan kafir siapa yang mengatakan kedua frasa di atas karena mereka mengandung penyifatan dengan arah, batasan, dan tempat bagi Allah. Segala sesuatu yang memiliki arah dan batas adalah secara logika memerlukan Pencipta. Jadi, bukan maksud Imam Abu Hanifah untuk membuktikan bahwa Langit dan arsy adalah tempat bagi Allah, sebagaimana mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluknya mengklaim. Ini adalah maksud Imam Abu Hanifah mengatakan, "Apakah Dia berada di dalam suatu tempat untuk duduk dan istirahat? Lalu sebelum arsy tercipta, dimana Allah?", yang menunjukkan dengan jelas penolakan bahwa Allah memiliki arah atau tempat.

Dalam bukunya Ihya'u ^Ulum ad-Din, Imam al­Ghazaliyy mengatakan: "... tempat tidaklah meliputi Dia, tidak juga arah, bumi maupun langit. Dia disifati istiwa atas arsy sebagaimana dikatakan Quran - dengan arti yang Dia kehendaki - dan tidak juga sebagaimana orang yang mungkin ... Itu adalah istiwa yang bebas dari sentuhan, istirahat, pegangan, gerakan, dan pelingkupan. Arsy tidak membawa Dia, tetapi justru arsy dan apa yang membawa arsy seluruhnya dibawa/dijaga oleh Allah dengan Kekuasaan-Nya dan dikuasai-Nya. Dia mengatasi arsy atau langit dan mengatasi segala sesuatu - dalam kedudukannya - suatu ketinggian yang tidak mendekat ke Arsy atau langit, sebagaimana juga tidak menjauh dari bumi. Dia adalah Lebih Tinggi dalam kedudukan daripada segala sesuatu: lebih tinggi dari arsy atau langit, sebagaimana Dia adalah Lebih Tinggi dalam kedudukan daripada langit dan seluruh makhluk.

Shaykh ^Abdul-Ghaniyy an-Nabulsiyy berkata: "Orang yang percaya bahwa Allah mengisi langit dan bumi atau bahwa Dia adalah jasad yang duduk di atas arsy, dia telah kafir. Ayat 93 Surat Maryam:

artinya: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (QS. 19:93)

Dalam Tafsirnya Imam Ar-razy berkata:" ... dan karenanya jelas dengan ayat ini bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah seorang hamba bagi Allah, dan karenanya adalah pasti bahwa Allah adalah Mahasuci dari menjadi (memiliki sifat) sebagai hamba, sehingga Dia Mahasuci dari sifat berada di tempat atau arah, atau di atas arsy atau kursi".

Dengan demikian Surat Taha, ayah 5, dalam Qur'an:

dengan jelas tidaklah berarti bahwa Allah duduk di atas singgasana, atau bahwa Allah menetap di atas singgasana. Dalam bahasa Arab, kata istawa memiliki 15 makna yang berbeza, di antaranya duduk (to sit), menguasai (to subjugate), menjaga (to protect), mengalahkan (to conquer) dan memelihara (to preserve). Berdasar apa yang telah kita bahas di atas adalah tidak benar memahami ayat tersebut dengan arti "duduk" bagi Allah. Ada pun makna memelihara dan menjaga bersesuaian dengan pemahaman agama dan bahasa.

Imam Hafidh Ibn Rajab al-Hanbaliyy mengartikan al-istiwa' dengan al-istila', yang berarti menguasai tanpa sebuah awal. Yaitu, Allah mensifati Diri-Nya dengan menguasai Arsy sejak al-azal (keadaan tanpa awal, yaitu sebelum penciptaan). Karena al-Arsy adalah ciptaan Allah yang terbesar, dan dia dikuasai oleh Allah, maka segala sesuatu yang lebih kecil dari Al-Arsy juga dibawah kendali Allah.

Dinyatakan mengenai Imam Malik bin Anas oleh Al-baihaqi melalui sanad yang sahih dari jalur Abdullah bin Wahb bahwa, "Kami berada di dalam rumah Imam Malik ketika seorang lelaki masuk dan berkata, " Wahai Aba Abdillah (Imam Malik), Ar-Rahmanu 'alal 'arsy istawa. Bagaimana Dia istawa?". Imam Malik melihat kebawah dengan terperanjat kemudian dia mengangkat muka dan berkata, "Alal 'arsy istawa sebagaimana Dia mensifati untuk Dirinya. Tidak benar untuk mengatakan "bagaimana" karena "bagaimana" tidak berlaku bagi-Nya. Saya lihat bahwa kamu seorang ahli bid'ah. Keluarkan dia". Dengan demikian, perkataan Imam Malik, "Bagaimana tidak berlaku bagi-Nya", berarti bahwa Istiwa-Nya atas Arsy-Nya tanpa "bagaimana", yaitu tanpa jasad, tempat, bentuk atau form seperti duduk, persentuhan, meletakan di atas, dan yang semacamnya.

Karenanya, tidak ada dasar perkataan mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk, yang disandarkan kepada Imam Malik, bahwa al-istiwa telah diketahui, dan bagaimana adalah tidak diketahui. Apa yang mereka maksudkan bahwa istiwa adalah duduk, tetapi bagaimana duduk-Nya adalah tidak diketahui. Perkataan ini tidak benar, karena duduk itu, tidak masalah bagaimana dia, akan dilakukan dengan anggota tubuh dan bagian yang dapat ditekuk. Dengan demikian, perkataan yang disandarkan kepada Imam Malik tidak terbukti dari Dia atau yang lainnya.

Imam al-Lalaka'iyy meriwayatkan dari Umm Salamah and Rabi^ah Ibn Abi ^Abdar-Rahman:

artinya: "Istiwa tidak asing (majhul) - karena disebut dalam Al-Quran - dan "Bagaimana" tidak masuk akal - karena tidak mungkin berlaku bagi Allah". Sehingga, Hadis dan Ayat Quran yang mensifati ketinggian kepada ALlah, merujuk kepada ketinggian kedudukan dan bukan ketinggian tempat, arah, sentuhan atau perletakan.

Dalam Surat al-An^am ayat 61, Allah berfirman:

artinya: "Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi atas semua hamba-Nya". Dengan demikian "fauqa" (ketinggian) dalam ayat ini adalah dalam kekuasaan bukan dalam arti tempat atau arah.

Hati-hati dengan apa seperti dikatakan Translation of the Qur'an oleh Yusuf Ali dan dikatakan sebagai versi revisi (dari Yusuf Ali) dan dicetak olehKing Fahd Holy Qur'an Printing Complex di al-Madinah al-Munawwarah, di halaman 879, dalam menterjemahkan ayah 5 Surat Taha:

mereka katakan: "The Most Gracious is firmly established on the throne," (Yang Maha Penyayang bersemayam di atas singgasana). Dan di catatan kaki mereka katakan dengan jelas:"Who encompasses all creation and sits on the throne." (Yang meliputi segala ciptaan dan duduk di atas singgasana)

Begitu juga, hati-hati dengan bagian lain yang menyerupakan Allah dengan makhluk seperti pada halaman 1799 dalam ayah 42 Surat al-Qalam:

mereka mensifati "betis" kepada Allah.

Pada halaman 1015 dalam mentafsirkan Surat An-Nur ayat 35:

mereka mengatakan: "Allah adalah cahaya" dan dalam catatan kaki mereka dengan jelas mengatakan:"We can only think of Allah in terms of our phenomenal experience."(Kita hanya memikirkan dalam arti pengalaman keseharian kita)

Al-Mushabbihah adalah mereka yang menserupakan Allah dengan makhluk; mereka percaya bahwa Allah menyerupai makhluk. Mereka mensifati Allah dengan tempat, arah, bentuk dan badan, dan mereka mencoba menutupinya dengan mengatakan; "Bagaimana pun, kita tidak tahu bagaimana tempat-Nya, atau bagaimana Dia duduk, atau bagaimana Wajah-Nya, atau bagaimana betis-Nya, bagaimana Cahaya-Nya". Semua hal itu jelas menunjukkan kesalahan mereka.

Puji syukur kepada Allah Tuhan Semesta alam, Zat yang suci dari penyerupaan dengan dengan makhuk, segala sifat yang tidak layak, dan segala yang tidak benar tentang Dia.

Thursday, October 30, 2008

Salafi @ wahabi salah faham terhadap hadith Rasulullah (SAW)

Salafi @ wahabi salah faham terhadap hadith Rasulullah (SAW)

Setiap yang baharu (kullu muhdathatin) adalah bid‘ah, dan setiap
bid‘ah itu sesat (dlalalah), dan setiap yang sesat itu ke Neraka [1]

Ini adalah kerana cara pemahaman mereka itu telah bertentangan
dengan Hadith Rasulullah (SAW) berhubung dengan perbezaan
pendapat di kalangan para 'ulama'

"Jika seseorang hakim itu berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka
beliau memperolehi dua pahala; manakala hakim yang berijtihad
namun tersasar, maka beliau memperolehi satu pahala."[2]

Hampir seluruh ulama termasuk Ibn Taymiyyah memahami hakihat
hadith diatas dari segi ganjaran pahala terhadap para mujtahid
atas hasil keputusan ijtihad mereka yang diasaskan melalui
prinsip Sunnah. Malah turut menganggap hasil ijtihad itu
merupakan sebahagian dari Shariah.

Ianya amat berbeza dengan golongan "salafi" pada hari ini yang
berpendapat bahawa hasil ijtihad para mujtahid merupakan bid'ah
dalam agama. Dan seterusnya menghukum mereka serta orang-orang
yang mengikut mujtahid itu sebagai ahli bid'ah. Semoga Allah swt
mengampunkan mereka dan merahmati mereka.

Salafi katakan bahawa kalimah "kull" bermaksud setiap/semua Sebenarnya kalimah kull tidaklah bermaksud sepertimana yang mereka fahami. Dari segi kalimah "kull" dalam bahasa Arab itu membawa maksud hampir keseluruhan atau kebanyakkan dan bukannya bermaksud semua tanpa pengecualian

Sebagai contoh terdapat beberapa ayat dari Al-Quran yang menjelaskan tentang perkara ini.

“Kami bukakan kepada mereka pintu segala (kull) perkara” (6:44)
(Pengecualian:pintu Rahmat tidak dibuka);

“Semua (kull) akan dibinasakan kerana perintah Tuhannya” (46:25)
(Pengecualian: rumah kediaman, bukit bukau, langit dan bumi tidak dibinasakan);

“Dan beliau telah diberikan ganjaran (yang banyak) akan segala (kull)perkara” (27:23)
(Pengecualian: singgahsana Nabi Sulaiman a.s.)

• “Dan setiap insan itu tidak memperolehi melainkan apa yang beliau usahakan”(53:39)
(Pengecualian: di sana ada dalil-dalil yang sampai tahap tawatur ma'nawi di mana seseorang Islam itu mendapat manfaat dari amal orang lain, termasuk saudara maranya, doa para
malaikat sepertimana bukti yang dikumpulkan oleh Ibn Taimiyyah melebihi dua puluh dalil yang kemudiannya dipetik oleh al-Jamal dalam Syarahnya terhadap Tafsir al-Jalalain berhubung ayat ini);

“Manusia (al-nās) telah berkata kepada mereka bahawa sesungguhnya manusia (al-nās) telah berkumpul menentangmu” (3:173)
(Pengecualian: dalam dua-dua keadaan ‘manusia’ (al-nās) hanya merujuk kepada sekelompok manusia tertentu tanpa melibatkan keseluruhan manusia);

• “Sesungguhnya kamu (penyembah berhala) dan ‘apa’ (mā) yang kamu sembah selain dari Allah adalah bahan bakaran api Neraka” (21:98)
(Pengecualian: namun Nabi 'Isa a.s., ibunya dan para malaikat walaupun mereka turut disembah selain Allah, bukanlah termasuk dalam ayat ini).

“Dan berbincang dengan mereka dalam urusan” (3:159).
(Pengecualian: Ibn 'Abbas menyebut: "Iaitu sebahagian dari urusan"[4] kerana Rasulullah tidak berbincang dengan mereka dalam hal-ehwal hukum-hakam dan dalam menjatuhkan hukuman. )

• “Dan setiap (kull) diri akan diberikan ganjaran mengikut apa yang iausahakan” (20:15).
(Pengecualian: "setiap diri" di sini adalah diri yang tidak mendapat keampunan Allah, adapun yang mendapat keampunan Allah terkecuali dari ungkapan menyeluruh ini).

Para Ulama usul menggunakan kaedah untuk memutuskan sesuatu

hukum dari kalimah bahasa diatas ialah:

al-umum bi ma‘na al-khusus
“Keumuman (yang dinyatakan) membawa maksud yang khusus”

Begitu juga dari Hadith-Hadith contohnya:

Rasulullah telah mengutuskan seketumbukan tentera di bawah
pimpinan seorang panglima dari kalangan Sahabat, dan menasihati
mereka agar mematuhi perintah panglima tersebut. Dalam perjalanan, panglima itu telah naik berang terhadap mereka lalu menyalakan api dan memerintahkan mereka semua masuk ke dalamnya. Mereka enggan seraya berkata: “Kami lari menyelamatkan diri dari
api dan menuju Rasulullah (fararna ila Rasulillahi min -nār)!" Apabila Baginda mendengar akan berita itu, Baginda bersabda: "andaikata mereka masuk ke dalamnya (api), nescaya mereka tidak akan keluar sehingga Hari Qiamat. Ketaatan hanyalah dalam perkara kebaikan."[5]

Begitu juga dengan ayat al-Qur’ān: “Taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan pemimpin (ulil amr) di kalangan kamu”(4:59). Walaupun ianya diungkapkan membawa gambaran ‘mutlak’ (absolute) namun dari segi makna sebenarnya tidak sedemikian kerana ‘mutlak’ itu hanyalah ketaatan terhadap Allah dan RasulNya sahaja, manakala terhadap pemimpin (ulil amr) pula hanyalah ‘ketaatan bersyarat’ berdasarkan hadith
Baginda : "Tiada ketaatan terhadap makhluk dalam perkara
maksiat terhadap Allah."[6]

Rasulullah bersabda: "Setiap manusia akan dimamah bumi kecuali tulang sulbi ('ajbal-dhanab)."[7] Ibn 'Abdul Barr menyebut bahawa: "Ungkapan hadith ini secara
umumnya seolah-olah memberi gambaran bahawa semua manusia tanpa terkecuali, namun di sana ada hadith lain yang menyebut bahawa jasad para Nabi dan para Syuhada’ tidak dimamah bumi”.[8]

Rasulullah melarang pemulauan (al-hajr) seorang Islam dengan Islam yang lain selama lebih dari tiga hari.[9] Namun, beliau memerintahkan orang-orang Islam memulau tiga orang Sahabat yang tidak ikut serta dalam Peperangan Tabuk, dan pemulauan ini berlangsung selama lima puluh hari sepertimana yang diriwayatkan oleh Ka‘ab bin Malik al-Ansārī – salah seorang
dari tiga Sahabat itu-- di dalam Sahih Bukhari.[10] Oleh itu hadith yang melarang pemulauan itu tadi mengandungi tafsiran yang khusus.

Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya, biji hitam ini al-habbatul sauda') adalah ubat bagi segala (kull) penyakit kecuali mati”.[11] Sepakat para mufassir menegaskan bahawa kalimah
‘umum’yang digunakan dalam hadith ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud hadith ini sebenarnya ialah ‘banyak’ penyakit boleh disembuh dengan habbatul sauda’, walaupun
kalimah ‘umum’ (segala) digunakan.

Rasulullah bersabda: "Tiada sesiapa yang sembahyang sebelum matahari terbit dan sebelum matahari jatuh masuk Neraka”[12]Hadith ini juga diungkapkan dengan kalimah umum merangkumi semua, walaupun maksud sebenarnya bukan sedemikian kerana ianya
tidak termasuk orang yang meninggalkan Sembahyang Zuhur,Maghrib, dan 'Isha'. Ibn Hajar mengesahkan kaedah al-Tibi bahawa hadith Sah{ih} yang lain yang relevan dengan hadith ini perlu diambilkira dan dianggap sebagai satu hadith, dengan itu apa yang umum dapat dikhususkan (yuhmalu mutlaquha 'ala muqayyaduha)agar amalan itu tepat selaras dengan mafhum hadith secara keseluruhannya.[13]


Di sana ada banyak ayat-ayat dan hadith-hadith lain yang menjelaskan prinsip-prinsip sama seperti di atas. Ianya jelas sekali merupakan satu kejahilan yang amat sangat terhadap
asas-asas prinsip Shari‘at dan ilmu Islam – suatu pendekatan yang menyalahi amalan Salaf dan Khalaf di kalangan Ahlul Sunnah wal Jama‘ah – bagi mereka yang mentafsirkan:
"Setiap yang baharu itu Bid‘ah" dalam makna yang mutlak tanpa merujuk kepada hukum Shari‘at yang sudah termaktub dalam setiap kes-kes tersebut.

Imam al-Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim berkata tentang hadith "Setiap yang baharu itu Bid‘ah": Ini adalah kaedah umum yang membawa maksud khusus (‘ammun maksu>s). Apa yang
dimaksudkan dengan ‘perkara yang baharu’ adalah yang bertentangan dengan Shari‘at. Itu dan itu sahaja yang dimaksudkan dengan bid'ah[23]

Begitu juga Abu Bakar ibn al-‘Arabī di dalam Syarahnya berhubung dengan hadith dalam al-Tirmidhi: “iyyakum wa muhdathat al-umur” iaitu “berhati-hati kamu dengan perkara baharu”. Beliau berkata: “Ketahuilah – moga-moga Allah mengajarmu! – bahawa apa yang
dimaksudkan dengan ‘perkara baharu’ itu ada dua jenis: pertama yang tidak mempunyai asas dan mengikut hawa nafsu, yang semestinya ini tidak sah; atau perkara baharu yang selari dengan prinsip yang sudah ada, iaitu Sunnah para Khulafa’ dan para Imam-imam besar. ‘Perkara baharu’ (muh{dath) dan ‘bid‘ah’ bukanlah istilah yang semestinya terkandung di dalamnya makna keji dan dibenci kerana Allah sendiri berfirman”:

Tidaklah datang kepada mereka itu peringatan yang baharu (dhikrun muhdath) dari Tuhan mereka melainkan mereka mendengarnya sambil mengejeknya (21:2)

Sekiranya kumpulan wahabi salafi ini dapat membuka minda dan fikiran mereka perngertian bid'ah akan dapat difahami seperti mana yang difahami oleh jumhur (majoreti) ulama seperti Imam Syafie dan Ibnu Taimiah dan lain-lain iaitu pembahagian bid'ah itu terbahagi dua ada yang hasanah dan ada yang Dhalalah sesuai denagn hadis rasulullah yang dikatakan hanya khusus untuk sedqah sahaja(mengikut dakwaan mereka )oleh itu jernihkanlah hati kamu seperti jernihnya hati Abu Bakr Zaid bin Sabit ra.huma iaitu satu hadis bermaksud "sesiapa yang mengada-ngadakan dalam urusan (agama )kami apa yang tidak (berasas ) daripadanya maka (perkara itu) tertolak" HR Muslim dan tidak harus diterima maksud "apa yang tidak berasas daripada agama ialah perkara itu bid'ah dolalah , jadi sekiranya perkara tersebut ada asasnya dari agama seperti suruhan dan gesaan Allah dan RasulNya maka ianya adalah bid'ah hasanah yang baik dan boleh diterima .Quran juga telah menegaskan bahawa apa yang dibawa oleh Rasul itu ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkan al Hasyr . Jadi sekiranya sesuatu itu digalakkan sekalipun tidak pernah ada panduan maka ianya boleh dilakukan berpandukan hadis pertama dalam bab sedeqah tadi ( siapa yang menerukai dalam agama ini jalan-jalan yang baik maka baginya fahla dan fahla oerang yang mengikutinya (mencotohinya)tanpa berkurang fahlanya sedikit pun HR Muslim .Demikianlah penyelasan yang patut diambil untuk menghimpunkan segala hadis dalam bab tersebut . lebih lagi bila perkiraan kita mengikut umum lafaz nya bukan khusus sebabnya . Ini kerana terdapat qarenah yang amat kuat dan ternag yang dilepas pandang oleh puak wahabi salafi tersebut iaitu perkataan (fil Islam ) sebarang kebaikan dalam agama .ya Allah jernehkan hati dan luruskan fikiran kumpulan ini .
-------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Diriwayatkan dari Jabir oleh al-Nasa'i dengan sanad Hasan dan dari Ibn Mas'ud oleh Ibn Majah dengan sanad Dha’if. Hadith ini Sahih mengikut Muslim berdasarkan riwayat dari Jabir dengan ungkapan: "Setiap yang baharu itu bid‘ah dan setiap yang bid‘ah itu sesat” tanpa menyebutkan ‘ke Neraka’. Ibn Taymiyyah di dalam Minhaj al-Usul dalam Majmu' al-Fatawanya (hal. 19:191) menyebut bahawa ungkapan "setiap yang sesat itu ke Neraka" tidak Sahih daripada Rasulullah . Lihat juga pelbagai riwayat sepertimana yang dinakalkan oleh Shaykh Abdul Fattah Abu Ghuddah dan pengesahan beliau dalam lampiran kitab Tuhfatul
Abrar oleh al-Lucknawi (hal. 139-144) terhadap kenyataan Ibn Taymiyyah itu.
2 Diriwayatkan dari 'Amr ibn al-'As dan Abu Hurairah oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidhi, al-Nasa'i, Ibn Majah, dan Imam Ahmad.
3 Al-Haddad, al-Sunnah wa al-Bid‘ah (hal. 5-6).
4 Diriwayatkan dari Sa'id ibn Mansur, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dan Ibn al-Mundhir dengan sanad Hasan sepertimana disahkan bagi ayat ini oleh al-Suyuti dalam al-Durr al-Manthur.
5 Diriwayatkan dari Ali oleh Imam Bukhari dan Muslim
6 Diriwayatkan dari 'Ali, Ibn Mas'ud, dan 'Imran ibn Husayn oleh Ahmad di dalam Musnadnya dengan sanad Sahih.
7 Diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa'i, Ibn Majah, Ahmad, dan Imam Malik di dalam al-Muwatta'.
8 Ibn 'Abdul Barr, al-Tamhid (18:173). Lihat Lampiran 25, "Para Nabi di Alam Barzakh" (hal. 455).
9 Diriwayatkan daripada Anas oleh Bukhari, al-Tirmidhi, Malik, Abu Dawud, dan al-Nasa'i.
10 Terjemahan hadith ini boleh didapati dalam Encyclopedia Shaykh Hisham Kabbani dalam bab senarai hadith-hadith para Sahabat ‘mencium tangan Rasulullah ’
11 Diriwayatkan daripada 'A'isha dan Abu Hurairah oleh Bukhari, Muslim, al-Tirmidhi, Ibn Majah, dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan. Al-Zuhri menyebut: "Bijiran hitam itu ialah ‘jintan hitam’ (al-shunīz)." Ianya juga dinamakan ‘jintan India’ dan pelbagai nama-nama lain.
12 Diriwayatkan daripada 'Amara ibn Ru'ayba al-Thaqafi oleh Muslim, al-Nasa'i, Abu Dawud, dan Ahmad
13 Fath al-Bari (cetakan 1959. 11:271 #6080).
14 [Kita menyedari antara hujah balas golongan yang menolak dalil dari peristiwa di bawah ini, akan beralasan bahawa pada ketika para Sahabat (r.anhum ajmain) melakukan amalan-amalan yang disebutkan ini, Rasulullah masih hidup pada masa itu dan boleh membetulkan, samada membenar atau melarang perlakuan sedemikian. Namun perlu kita ingat bahawa ‘semangat’ atau kecenderungan mengadakan ‘perkara baharu’ yang tidak diajarkan Rasulullah itu ternyata wujud di kalangan Sahabat dan mereka tidak merasakan itu suatu kesalahan. Malah Rasulullah sendiri tidak pula melarang Sahabat dari melakukan ‘perkara baharu’ itu, walaupun pada awalnya beliau sendiri tidak pernah mengajarkannya atau melakukannya, dengan syarat perlakuan tersebut tidak bercanggah dengan ajaran yang dibawanya, dan berasaskan prinsip umum Shari‘at.~ Penterjemah].
15 Diriwayatkan daripada Abu Hurairah oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad.
16 Diriwayatkan daripada Buraydah al-Aslami oleh al-Tirmidhi sebagai hadith Hasan Sahih Gharib. Al-Hakim mengesahkan ianya Sahih dan turut dipersetujui oleh al-Dhahabi .
17 Fath al-Bari (cetakan 1959, 3:63 #1098). (Pentj: Kritikan bahawa penetapan masa untuk sesuatu amalan ibadat tertentu tidak dibenarkan hanya kerana ianya tidak dilakukan oleh Rasulullah jelas sekali tidak berasas. Contohnya seperti membaca Surah Yasin di malam Jumaat dan lain-lain).
18 ‘Al-salatu khayrun mawdu'un’. Diriwayatkan daripada Abu Dharr oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya dengan tiga periwayatan yang Dha’if, walaupun al-Zayn mengisytiharkan salah satunya baik (16:259 #22189), oleh al-Quda'i dalam Musnad al-Shihab (1:378 #651), al-Hakim yang menilainya Sahih tetapi al-Dhahabi melihat sanad ini mengandungi Yahya ibn Sa'id Abu Zakariyya al-Sa'di al-Basri, seorang yang lemah sepertimana disebut oleh Ibn 'Adi di dalam al-Kamil fi al-Du'afa' (7:244 #2142), oleh al-Bazzar dalam Musnadnya dan, sebagai sebahagian dari hadith yang panjang, oleh Abu Nu'aym di dalam al-Hilya dan Ibn Hibban di dalam Sahihnya dengan sanad yang lemah sepertimana disebut oleh al-Arna'ut (2:76 #361); juga diriwayatkan daripada Abu Hurayra oleh al-Tabarani dalam al-Awsat dengan sanad yang
lemah sepertimana disebut oleh al-Haythami, dan daripada Abu Umamah oleh Ahmad and al-Tabarani di dalam al-Kabir (8:217 #7871) dengan sanad lemah sepertimana disebut oleh al-Haythami dalam Majma' al-Zawa'id (1:159). Ibn Hajar menyebut kelemahannya dalam Talkhis al-Habir (1964 ed. 2:21 #542) dan Fath al-Bari (cetakan 1959, 2:480 #946).
19 Diriwayatkan melalui hadith yang panjang daripada Thawban dengan sanad yang Sahih oleh Ibn Majah dan Ahmad. Imam Malik turut menyebutnya di dalam Muwatta' beliau.
20 Diriwayatkan daripada Rifa'a oleh Bukhari, al-Nasa'i, Ahmad, dan Malik.
21 Fath al-Bari (cetakan 1959. 2:287 #766).
22 Diriwayatkan daripada Ibn 'Umar oleh Muslim, al-Tirmidhi (Hasan Sahih Gharib), al-Nasa'i melalui dua periwayatan, dan Ahmad dengan beberapa sanad dalam Musnadnya. Salah satu dari versi al-Nasa'i' ialah: "Aku melihat dua belas malaikat berebut untuk itu," manakala dua daripada versi Ahmad pula ialah: " Aku melihat ucapanmu naik ke langit sehingga pintu dibuka dan masuk mereka ke dalamnya"
23 Al-Nawawi, Syarah Sahih Muslim (cetakan 1972. 6:154).
24 Diriwayatkan daripada 'Abd al-Rahman ibn 'Abd al-Qari oleh Bukhari, dan Imam Malik di dalam Muwatta' nya
25 Ibn al-'Arabi, 'Arida al-Ahwadhi, Kitab Ilmu, Bab “Berkenaan dengan mengikuti Sunnah dan meninggalkan Bid‘ah" (Ma ja'a fi al-akhdhi bi al-Sunna wa ijtinab al-Bid‘ah).

Monday, October 27, 2008

Jika ditanya kepada mereka tentang bid'ah

Mereka akan mengatakan kesemua bid'ah itu sesat sesuai dengan Hadith dibawah:

(كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)

"Setiap yang bid'ah itu sesat".



Ditanya lagi kepada mereka

Bagaimana dengan perbuatan sahabah yang tidak pernah ditunjukkan oleh Rasulullah (SAW)
adakah mereka juga golongan yang membuat bid'ah? Diantara perbuatan yang dilakukan ialah:

1. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah.

2. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

3. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak

4. Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra’, yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.



Mereka katakan:

Nabi Muhammad SAW bersabda :

"Maksudnya Sahabat-sahabatku umpama bintang di langit." (Hadith sahih Riwayat al-Bukhari)

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:
"Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaurrashiidn setelahku" (H.R. Ibnu Majah dll.) .

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:
"Ikutilah dua orang setelahku, yaitu ABu Bakar dan Umar". (H.R. Tirmidzi dll)


Lantas bagaimana dengan tabi'i?

Pembuatan titik-titik dalam (huruf-huruf) al Qur’an oleh Yahya bin Ya’mur, salah seorang tabi’i yang agung. Beliau adalah seorang yang alim dan bertaqwa,perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari ahli hadits dan ulama lainnya, mereka menganggap baik hal ini sekalipun Mushhaf tersebut tidak memakai titik saat Rasulullah mengajarkannya kepada para penulis wahyunya. Begitu pula Utsman ibn ‘Affan ketika menyalin mushhaf yang lima atau enam tidak dengan titik-titik (pada huruf–hurufnya), dan dari saat itulah semua orang Islam hinggga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al Qur’an. Apakah hal ini harus dikatakan bid’ah sesat sebab Rasul tidak pernah melakukannya?. Jika masalahnya demikian maka hendaklah mereka meninggalkan mushhaf-mushhaf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya hingga seperti pada masa Utsman. Abu Bakr ibn Abi Dawud, penulis kitab Sunan, dalam karyanya kitab al-mashahif berkata: orang yang pertama kali membuat titik dalam mushhaf adalah Yahya bin Ya’mur, salah seorang ulama dari kalangan tabi’in yang mengambil riwayat dari sahabat Abdullah ibn Umar dan lainya.

Bid'ah mengikut Ahli Sunnah

Siri 5. Menjawab Salafi Wahabi Bid‘ah Mengikut Ahlul Sunnah.

Komentar Penterjemah.


Jelas sekali berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan di atas membuktikan bahawa para ulama’ di kalangan empat Mazhab Ahlul Sunnah wal Jamaah, secara majoritinya,(manakala ijma’ di kalangan ulama Mazhab Shafi’e) telah menerima pembahagian bahawa di sana ada dua bentuk bid‘ah, iaitu yang ‘baik’(hasanah) dan yang ‘buruk’ (sayyi’ah/dalalah). Ini sekaligus menolak pandangan ganjil dan keseorangan (shadhdh) Imam al-Shatibi dalam I’tisomnya, yang menentang pembahagian bid’ah sedemikian, dan juga pandangan mereka yang bersamanya yang mendakwa semua ‘perkara baharu’ itu bid‘ah sesat (bid‘ah dalalah/sayyi‘ah) belaka.

• Adapun mereka yang mengemukakan hujah-hujah para Imam Mazhab dan imam imam besar lain yang kononnya menolak dan menentang amalan yang dikatakan “bid‘ah”, penolakan para Imam itu sebenarnya adalah terhadap bid‘ah dalalah, iaitu bid‘ah yang bertentangan dengan Shari‘at, kerana para imam-imam ini dalam masa yang sama di tempat yang lain jelas sekali mengakui dan menerima wujudnya dua kategori bid‘ah: baik dan buruk.

Dakwaan bahawa kalimah “bid‘ah” yang diungkapkan oleh Saidina Umar r.a hanya bermaksud ‘bid‘ah dari segi bahasa’, dan justeru itu sekalian para ulama telah tersilap faham merupakan suatu tanggapan memperlekehkan keilmuan dan kepakaran bahasa para ulama’ besar seperti Imam Shafi’e, Imam al-Ghazali, Imam al-Izz dan lain-lain, seolah-olah mereka ini jahil tidak tahu membezakan antara ‘bid ‘ah dari segi bahasa’ dan ‘bid‘ah dari segi syarak’. Imam Mazhab, Mujtahid Mutlaq, Hujjatul Islam, Sheikhul Islam dan Sultan al-‘Ulama’ adalah antara gelaran-gelaran yang diberikan terhadap para ulama ini sudah cukup menggambarkan kehebatan keilmuan dan kewibawaan mereka.

• Perlu kita akui bahawa para ulama’ silam teramat mengerti dan arif apa yang dimaksudkan oleh Saidina Umar r.a. dengan ungkapan kalimah “bid‘ah” itu . Mereka juga tahu dan amat mengerti bahawa Rasulullah s.a.w. sendiri pernah melakukan Solat Terawih secara berjemaah untuk dua malam pertama di bulan Ramadhan sepertimana Hadith Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Namun mereka tetap menggunakan hujah perlakuan Saidina Umar itu untuk mengatakan bahawa di sana ada bid‘ah hasanah dan bid‘ah dalalah. Adalah sesuatu yang ganjil tiba-tiba ada ‘ulama mutaakhir termasuk ulama’ kurun ke-20 ini mula mempertikaikan dan menolak hujah para ulama besar seperti Imam Shafi’e, Imam Ghazali dan lain-lain yang telah menggunakan kata-kata Saidina Umar itu tadi sebagai dalil mereka.

• Setiap amalan dalam masyarakat kita perlu dinilai dan diteliti dengan cermat berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada ketikanya amalan mereka itu merupakan bid‘ah hasanah, ada juga ketikanya bid‘ah dalalah dan khurafat yang mesti ditentang, dan ada juga ianya merupakan persoalan khilafiyyah (perbezaan pendapat di kalangan ‘ulama’). Adalah terlalu cetek pemikiran melabelkan semua perlakuan yang tiada nass khusus mengenainya, di dalam satu bakul yang sama sebagai bid ‘ah dalalah atau sayyiah.

*Dan Allah jua Yang Maha Mengetahui*

Bid'ah mengikut Ahli Sunnah

Siri 4. Menjawab Salafi Wahabi. Bid'ah menurut Ahli Sunnah Wal Jama'ah.



(h) Sokongan al-Hafiz Ibn Hajar al-As-Qoolany terhadap Imam al-Izz.

Hâfiz Ibn Hajar berkata:


Akar kata perkataan ‘bid‘ah’ itu ialah sesuatu yang direka tanpa ada duluannya sebelum ini. Ianya digunakan dalam Shari‘at sebagai lawan kepada Sunnah, dan oleh itu dikeji. Jika diteliti, sekiranya ianya termasuk dalam apa yang digalakkan oleh Shari‘at, maka ia termasuk dalam bid‘ah baik (bid‘ah hasanah), dan jika ia termasuk dalam perkara yang dikeji maka ianya adalah bid‘ah buruk (mustaqbahah). Selain daripada itu ianya diharuskan (mubâh). Ianya juga boleh dibahagikan kepada lima kategori.16

(i) Ittifaq ‘Ulama’ berhubung Klasifikasi Imam al-Izz.

Para ulama’ dalam empat Mazhab bersetuju dengan klasifikasi lima hukum bagi Bid‘ah yang dibuat oleh Imam al-Izz sepertimana yang telah disebutkan di atas, dengan turut dipersetujui oleh majoriti besar para ‘ulama’ terkemudian setiap Mazhab seperti berikut:

(1) Di kalangan ‘ulama Mazhab Hanafî: al-Kirmânî, Ibn `âbidîn, al-Turkmânî, al-`Aynî, dan al-Tahânawî.17

(2) Di kalangan ‘ulama Mazhab Mâlikî: al-Turtûshî, Ibn al-Hâjj, al-Qarâfî, dan al-Zurqânî, kecuali al-Shâtibî yang cuba menafikannya dengan mendakwa klasifikasi Imam al-Izz itu sebagai “bid‘ah tanpa ada dalil dalam Shari ‘at”!.18

I`tisâm Imam al-Shâtibî' telah diedarkan semula oleh dua tokoh Wahabi: Rashîd Ridhâ dan kemudiannya Salîm Hilâlî. Wahhâbî yang ketiga ialah Muhammad `Abdul Salâm Khadir al-
Shuqayrî – iaitu anak murid kepada Rashid Rida. Al-Shuqayrî adalah pengarang al-Sunan wal-Mubtada`ât al-Muta`alliqah bil-Adhkâr wal-Salawât yang beliau penuhi dengan pelbagai cerita-cerita dongeng yang tidak dapat disahkan, yang kemudiannya beliau mengecamnya

(3) Sepakat (ijma’) di kalangan sekalian ulama’ Mazhab Shâfi`î.19

(4) Keenganan menerimanya di kalangan ulama Mazhab Hanbalî yang terkemudian, dengan mengubah istilah Imam al-Shâfi`î dan Imam al-Izz ibn `Abdul-Salâm dengan masing-masing membawa maksud “bid‘ah dari segi bahasa” (bid‘ah lughawiyya) dan “bid ‘ah dari segi syarak” (bid‘ah shar`iyyah). Walaupun ini tidak tepat, mereka cuba memadankan apa yang Imam al-Shâfi`î' sebutkan sebagai “dibenarkan” dan “dikeji”.20


Inilah pendekatan yang sering dibawa oleh golongan Wahabi dengan memecah-mecahkan sesuatu isu sepertimana berlaku dalam isu bid‘ah ini, walaupun sepatutnya pendekatan sebenar ialah berpandukan klasifikasi yang telah dibuat oleh majoriti ulama’ (jumhûr).


Shaykh Muhammad Bakhît al-Mutî`î menyimpulkan:


“Bid ‘ah dari segi Syarak ialah yang sesat dan dicela; adapun bid‘ah yang para ‘ulama membahagikan kepada kepada Wajib dan Haram dan seterusnya itu, adalah Bid’ah dari segi bahasa, yang lebih luas dari Bid’ah dari Syarak kerana Syarak itu juga sebahagian darinya.”21


Al-Shawkânî merumuskan di dalam Nayl al-Awtâr iaitu asas kepada pembahagian bid‘ah adalah “baik” dan “buruk”, dan inilah pandangan yang paling kukuh dan kuat sekali.22


Memadailah apabila majoriti Imam Mujtahid dari kalangan Salaf menyatakan sedemikian berdasarkan dalil-dalil al-Qur'ân and Sunnah, walau apapun yang dikatakan oleh ulama’ terkemudian – samada oleh ‘ulama bakal murajjih’ seperti al- Shawkânî atau ‘ulama bakal penyunting’ seperti al-Shâtibî.


Kerana pendirian ini telah disepakati (ijma’) di kalangan para ulama’ Mazhab al-Shâfi`î dan juga selari dengan pesanan Rasulullah s.a.w agar kita mengikuti jalan para Mu’min dan mengikut pendapat [ulama’] ramai.

"Bukanlah seorang Imâm dalam `Ilmu apabila mengikut pandangan yang ganjil/terpencil (shâdhdh)".
- (`Abdul-Rahmân ibn Mahdî).

Dan Allah jua Yang Maha Mengetahui

_______________________________________________________

16. Ibn Hajar, Fath. al-Bârî (cetakan 1959 5:156-157= cetakan 1989 4:318).
17. Al-Kirmânî, al-Kawâkib al-Darârî Sharh Sahîh al-Bukhârî (9:54), Ibn `âbidîn, H âshiya (1:376, 1:560); al-Turkmânî, al-Luma` fîl-Hawâdith wal-Bida` (Stuttgart, 1986, 1:37); al-Tahânawî, Kashshâf Istilâh.at al-Funûn (Beirut, 1966, 1:133-135); al-`Aynî, `Umdat al-Qârî dalam al-Himyarî, al-Bid`at al-Hasanah (hal.152-153).
18. Al-Turtûshî, Kitâb al-Hawâdith wa al-Bida` (hal. 15, hal. 158-159); Ibn al-Hajj, Madkhal al-Shar` al-Sharîf (Cairo, 1336/1918 2:115); al-Qarâfî, al-Furûq (4:219) cf. al-Shâtibî, al-I`tis âm (1:188-191); al-Zurqânî, Sharh al-Muwat a' (1:238).

19. Abû Shâma, al-Bâ`ith `alâ Inkâr al-Bida` wa al-Hawâdith (Riyad: Dâr al-Raya, 1990, hal. 93, cetakan Cairo hal. 12-13) dan juga apa yang ditelah disebut sebelum ini. Perhatian: “ijmâ` adalah lebih menyeluruh dari “ittifâq” dan ianya mengikat dari segi hukum
20. Ibn Rajab, al-Jâmi` fîl-`Ulûm wal-Hikam (2:50-53), dan Ibn Taymiyyah memperkatakan tentang bid`ah dalam kitab beliau Iqtidâ' al-Sirât. al-Mustaqîm Mukhâlafat Ashâb al-Jah îm. Ini juga merupakan pendirian Ibn Kathîr, lihat tafsiran beliau pada ayat 117 Surah al-Imran, dalam Tafsîrnya. Beliau sependirian dengan gurunya, Ibn Taimiyyah.
21. Bakhît, Fatâwâ Hadîthiyyah (hal. 205).
22. Al-Shawkânî, Nayl al-Awtâr (4:60).

Bid'ah mengikut Ahli Sunnah

Siri 3. Menjawab Salafi Wahabi:'Bid'ah menurut Ahli Sunnah wal Jama'ah'.


II. Pembahagian Bid‘ah di kalangan ‘ulama’ Ahlul Sunnah wal Jamaah dan selainnya:


(a) Definisi Imam al-Ghazâlî.

Hujjatul Islâm Imam al-Ghazâlî ketika mengulas perbahasan berhubung dengan penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an dengan katanya:

Hakikat bahawa ianya perkara baharu yang diadakan (muhdath) tidak menghalang ini semua. Berapa banyak perkara baharu yang diadakan tetapi ianya baik!, seperti mana sembahyang Terawih secara berjemaah. Ianya adalah antara bid‘ah Saidina`Umar (ra) tetapi ianya adalah bidôah yang baik (bid‘ah hasana). Bid‘ah yang keji ialah yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah atau yang boleh membawa kepada perubahan Sunnah itu. 7


(b) Definisi Qâdî Abû Bakr ibn al-‘Arabî al-Mâlikî.

Qâdî Abû Bakr Ibn al-`Arabî ketika mengulas berhubung dengan bid‘ah berkata:

Ketahuilah! – Moga Allah menganugerahkan kamu ilmu! – bahawa bid‘ah itu ada dua jenis (al-muhdathâtu darbân):

(i) Perkara baharu yang diadakan yang tiada asas [agama] melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati. Ini ada jenis yang salah, dan

(ii) Perkara baharu yang diadakan selari dengan apa yang sudah disepakati. Seperti Sunnah para Khulafâ’ dan para Imam-imam besar. Perkara baharu yang diadakan dan bid‘ah bukanlah keji kerana ianya ‘baharu’ (muhdath) [baharu yang tiada sebelum ini] atau semata-mata dipanggil ‘bid‘ah’, dan tidak juga kerana maknanya! Allâh Yang Maha Agung berfirman:

“Tidak datang kepada mereka peringatan yang baharu (muhdath) dari Tuhan mereka” (21:2) dan Saidina `Umar (ra) berkata: “Alangkah cantiknya bid‘ah ini!”

Sebaliknya, bid‘ah yang bertentangan dengan Sunnah itu yang dikeji atau perkara baharu yang diadakan yang membawa kepada kesesatan itu yang dicela. 8


(c) Definisi Ibn Hazm al-Zahiri

Ibn Hazm al-Zâhirî berkata:

Bid‘ah dalam al-Din ialah apa jua yang datang kepada kita yang tiada disebutkan didalam al-Qur'ân dan Hadith Rasulullâh , melainkan seseorang itu diberi ganjaran pada sebahagiannya, dan mereka yang melakukannya dimaafkan jika mereka berniat baik. Di antaranya adalah yang diberi ganjaran dan dikira baik (h asan), apa yang pada asalnya diharuskan (“mâ kâna asluhu al-ibâha”) sepertimana yang diriwayatkan oleh Saidina`Umar (ra): “Alangkah baiknya bid‘ah ini!”Ia jelas merujuk kepada semua amalan kebaikan yang dinyatakan oleh nass (al-Qur’an dan Hadith) secara umum akan galakan melakukannya, walaupun amalan berkenaan itu tidak disebutkan dalam nass secara khusus. Di antaranya juga ada yang dikeji dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya. 9


(d) Definisi Ibn al-Jawzi.

Ibn al-Jawzî menyatakan perkara yang sama dalam kitabnya Talbîs Iblîs:

“Ada sesetengah perkara baharu (muhdathât) diamalkan yang tidak berlawanan dengan Shari‘at atau menyalahinya, mereka [para Salaf] melihat ianya tidak mengapa untuk diamalkan, seperti tindakan Saidina Umar mengumpulkan orang bagi mendirikan sembahyang Terawih di bulan Ramad.ân, kemudian itu beliau berkata: `Alangkah baiknya Bid ‘ah ini!'”


(e) Definisi Ibn al-Athîr al-Jazarî.

Pakar perkamusan Ibn al-Athîr menyebut di dalam kitabnya, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hâdîth wal-Athar menyebut:

"Bid‘ah itu ada dua jenis: bid‘ah yang berpetunjuk (bid‘atu hudâ) dan bid‘ah yang sesat (bid`atu dalâlah). Apa jua yang menyalahi perintah Allâh dan RasulNya : itu termasuk dalam perkara
yang dikutuk dan dipersalahkan. Dan apa jua yang masuk dalam keumuman Allâh atau RasulNya perintahkan atau galakkan: maka itu termasuk dalam hal-ehwal yang dipuji. Apa jua yang tiada amalan sebelum ini seperti terlampau pemurah atau berbuat baik – seumpama itu termasuk dalam perlakuan dipuji. Tidak dibenarkan beranggapan perkara seumpama itu sebagai menyalahi Shari‘at kerana Rasulullah telah menyebutkan bahawa amalan sedemikian itu diberi ganjaran: “Sesiapa yang memulakan sesuatu amalan kebaikan dalam Islâm (man sanna fîl-islâmi sunnatan hasana) memperolehi ia ganjarannya dan ganjaran sekalian orang yang melakukannya”. Begitu juga sebaliknya Baginda bersabda sesiapa yang memulakan amalan jahat dalam Islâm (waman sanna fîl-islâmi sunnatan sayyi'atan) memikul dosanya dan dosa sekalian mereka yang melakukannya.”10


Begitulah apabila perlakuan itu bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allâh dan RasulNya .... Dengan maksud inilah hadîth yang menyebut “setiap yang baharu itu sesat”11
sepatutnya difahami: maksud Baginda ialah, apa jua yang
bercanggah dengan asas-asas Shari‘at dan menyalahi Sunnah.12


(f) Klasifikasi Imam al-Izz Ibn `Abdul Salâm.

Shaykhul Islâm, Sultân al-`Ulâmâ' Imâm al-`Izz Ibn `Abd al-Salâm juga berkata berhubung dengan perkara yang sama:

Di sana ada beberapa jenis perkara baharu (bid‘ah). Pertama, ialah yang apa yang tidak dilakukan di awal kedatangan Islam namun Shari‘at nyatakannya sebagai terpuji atau wajib. Yang kedua lagi ialah yang tidak dilaksanakan di awal Islam namun Shari‘at mengharamkannya dan dibenci. Yang ketiga ialah perkara yang tidak dilakukan di awal Islam dan Shari‘at mengharuskan.13

Di tempat lain beliau menyebut bahawa Bid‘ah itu ada lima jenis, sama sepertimana
yang diputuskan para fuqaha dalam amalan perbuatan seeorang, iaitu: Wâjib,Harâm, Sunat (mandûb), Makrûh, dan Harus (mubâh).14


(g) Sokongan Imam Nawawî terhadap Klasifikasi Imam al-Izz , Sheikhul-Islâm, Imâm al-Nawawî menyebut:

Bid‘ah mengikut Shari‘at ialah mereka sesuatu yang tidak pernah wujud di zaman Rasulullah dan ianya dibahagikan kepada “baik” dan buruk” (wahya munqasimatun ilâ hasanah wa qabîh ah).

Sheikh, dan Imâm sekalian ilmu-ilmu Islam yang pelbagai yang disepakati kehebatannya iaitu, Abû Muhammad `Abdul-`Azîz ibn `Abdul Salâm – Moga-moga llâh mengasihaninya! – menyebut di akhir buku beliau, al-Qawâ`id [al-Kubrâ]:

“Bid‘ah itu terbahagi kepada perkara-perkara wajib (wâjibat), Haram(muharramat), Sunat (mandûbat), Makruh (makrûhat), dan Harus (mubâhat).

Jalan untuk menilai sesuatu Bid‘ah itu ialah dengan melihat berpandukan kaedah Shari’at (qawâ‘id al-sharî‘ah).

Jika ianya jatuh dalam kategori kewajiban (îjâb) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram; jika digalakkan maka jadilah ia Sunat, dikeji maka jadilah ia Makruh dan seterusnya yang selainnya ialah Harus.15

___________________________________________________________________
7.Al-Ghazzâlî, Ihyâ' `Ulûm al-Dîn (1:276)
8. Ibn al-`Arabî, `A rid at al-Ahwadhî (10:146-147)
9. Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm (1:47)
10.Diriwayatkan dari Jarîr ibn `Abd Allâh al-Bajalî oleh Imam Muslim, al-Tirmidhî, al-Nasâ'î, Ibn Mâjah,Ahmad, dan al-Dârimî. Juga diriwayatkan dengan kalimah yang hampir sama dari Abû Hurayrah oleh Ibn Mâjah and Ahmad; dari Abû Juhayfah oleh Ibn Mâjah; dan dari Hudhayfah oleh Imam Ahmad.
11. Diriwayatkan dari al-`Irbâd. ibn Sâriyah oleh al-Tirmidhî (hasan sahih), Abû Dâwûd, Ibn Mâjah, Ah}mad, al-Dârimî, Ibn Hibbân (1:178-179 #5 sahîh.), al-Hâkim (1:95-97= edisi 1990 1:174-177) – menyatakan ianya sahih, sementara al-Dhahabî mengesahkannya – dan di dalam al-Madkhal ilâ al-Sahîh. (hal. 80-81), al-âjurrî dalam al-Sharî`ah (hal. 54-55#79-82= hal. 46 sahîh), Ibn Abî `âsim di dalam al-Sunnah (hal. 29 #54 sahih.), al-Tahâwî di dalam Mushkil al-âthâr (2:69=3:221-224 #1185-1187 sahih), Muhammad ibn Nasr al-Marwazî di dalam al-Sunnah (hal. 26-27 #69-72 sahîh.), al-Hârith ibn Abî Usâma dalam Musnadnya (1:197-198), al-Rûyânî dalam Musnadnya (1:439), Abû Nu`aym dalam Hilyat al-Awliyâ' (1985 ed. 5:220-221, 10:115), al-Tabarânî dalam Musnad al-Shâmiyyîn (1:254, 1:402, 1:446, 2:197, 2:298) dan al-Kabîr (18:245-257), al-Bayhaqî dalam al-Sunan al-Kubrâ (10:114), al-Madkhal (hal. 115-116), al-I`tiqâd (hal. 229), dan Shu`ab al-‘mân (6:67), al-Baghawî yang mengesahkan ianya hasan dalam Sharh al-Sunnah (1:205 #102 isnâd sahih), Ibn al-Athîr dalam Jâmi` al-Usûl (1:187, 1:279), Ibn `Asâkir dalam al-Arba`în al-Buldâniyyah (hal. 121), Ibn`Abd al-Barr dalam al-Tamhîd (21:278-279) dan Jâmi` Bayân al-`Ilm (2:924 #1758) di mana beliau mengesahkan ianya sahih, dan lain-lain.
12. Ibn al-Athîr, al-Nihâya (1:79 ‘b-d-`).
13. Ibn `Abd al-Salâm, al-Fatâwâ al-Mawsiliyyah (hal. 129).
14. Ibn `Abd al-Salâm, al-Qawâ`id al-Kubrâ (2:337-339) cf. al-Nawawî dalam al-Adhkâr (cetakan Thaqâfiyyah. hal. 237) dan Tahdhîb al-Asma' wal-Lughât (3:20-22), al-Shâtibî dalam al-I`tisâm (Beirut, 1:188), al-Kirmânî in al-Kawâkib al-Darârî (9:54), Ibn Hajar dalam Fath. al-Bârî (13:253-254), al-Suyûtî, mukaddimah beliau pada Husn al-Maqsid dalam al-Hâwî lil-Fatâwâ; al-Haytamî, Fatâwâ Hadîthiyya (hal. 150), Ibn `âbidîn,n - Radd al-Muhtâr (1:376) dan lain-lain.
15 . Al-Nawawî, Tahdhîb al-Asmâ' wal-Lughât (3:20-22).

Bid'ah mengikut Ahli Sunnah

Siri 2 Menjawab Salafi Wahabi : "Bid'ah mengikut Ahli Sunnah".


Oleh itu, Imam al-Shâfie telah meletakkan suatu kriteria asas, yang perlu digunakan dalam menjatuhkan hukum terhadap sesuatu ‘perkara baharu’. Sehubungan dengan itu Imâm al-Haytamî, Qâdî Abû Bakr Ibn al-`Arabî, dan Imâm al-Lacknawî seterusnya menyambung:

“Bid‘ah dari segi Shari‘atnya ialah apa jua perkara baharu yang diadakan yang bertentangan dengan hukum yang diturunkan Allah, samada berdasarkan dalil-dalil yang nyata atau pun dalil-dalil umum”. 3

“Hanya Bid‘ah yang menyalahi Sunnah sahaja yang dikeji”.4

“Bid‘ah ialah semua perkara yang tidak wujud dalam tiga kurun pertama Islam dan di mana ianya tidak mempunyai asas bersumberkan empat sumber hukum Islam”
.5

Kesimpulannya, ianya tidak memadai bagi sesuatu perkara itu dikira ‘bid‘ah’ [dan sesat] hanya semata-mata kerana ianya ‘perkara baharu’; tetapi ianya perlulah juga dimasa yang sama bertentangan dengan Islam.

Al-Bayhaqî mengulas kenyataan al-Rabî :

"Begitu juga dalam hal perdebatan aqidah (kalâm) dengan pereka bid‘ah, apabila mereka ini mula mendedahkan perbuatan bid‘ah (penterjemahan ) dalam aqidah mereka kepada masyarakat awam. Walaupun kaedah kalam merupakan ‘perkara baharu’ namun ianya dipuji (mahmudah) kerana ianya bertujuan untuk mendedahkan kepalsuan pereka bid‘ah itu, seperti mana yang kita sebutkan sebelum ini.

Rasulullah dan begitu juga para Sahabat ditanya soalan berhubung dengan Qada’ dan Qadar, yang jawapannya sepertimana telah sampai kepada kita hari ini. Namun pada masa itu, para Sahabat sudah berpuas hati dengan jawapan yang diberikan oleh Rasulullah . Namun sebaliknya di zaman kita ini pereka bid‘ah tidak lagi berpuas hati dengan jawapan yang sampai kepada kita (daripada Rasulullah dan para Sahabat), dan mereka tidak lagi menerimanya. Oleh itu bagi menangkis serangan mereka, yang mereka sebarkan kepada umum, perlu bagi kita berhujah menggunakan kaedah pembuktian yang diterimapakai oleh mereka sendiri. Dan sesungguhnya kejayaan itu datangnya dari Allâh jua".6

Ini merupakan pembelaan Imâm al-Bayhaqî secara terang-terang terhadap keperluan kalâm dan sifatnya yang selari dengan tuntutan Sunnah demi mempertahankan [Islam] dari pereka bid‘ah. Pendirian yang hampir sama juga boleh dilihat dikalangan para Imam besar seperti Ibn `Asâkir, Ibn al-Salâh, al-Nawawî, Ibn al-Subkî, Ibn `Abidîn dan lain-lain.
___________________________________________________________________

3. Al-Haytamî, al-Tabyîn fî Sharh al-Arba`în (hal. 32)
4. Ibn al-`Arabî, `âridat al-Ahwadhî (10:147)
5. Cf. al-Lacknawî, Iqâmat al-Hujjah (hal. 12)
6. Al-Bayhaqî, Manâqib al-Shâfi`î (1:469)

Bid‘ah Mengikut Ahlul Sunnah

Siri 1. Menjawab Salafi Wahabi : "Bid‘ah Mengikut Ahlul Sunnah".


Definisi Bid‘ah Mengikut Ahlul Sunnah wal Jamaah.

Oleh: Sheikh DR. Gibril Fouâd Haddâd

Tulisan ini terbahagi kepada dua bahagian:

I. Definisi Bid‘ah oleh Imam al-Shafi’e (ra).

II. Pembahagian Bid‘ah di kalangan Ahlul Sunnah wal Jamaah dan selainnya.


I. Definisi Bid‘ah Mengikut Imam Shafi’e:

Sumbangan besar Imâm al-Shâfi`î (ra) dalam ilmu Usul al-Fiqh ialah pembahagian beliau terhadap makna ‘perkara baharu’ (al-bid‘ah) dan ‘perkara baharu yang diadakan’ (al-muhdathât) iaitu samada ‘baik’ atau ‘buruk bergantung kepada samada perkara itu selari dengan Shari‘at.

Ini diriwayatkan secara Sahih
dari dua muridnya yang terkenal pada zaman akhir kehidupan beliau iaitu, pakar hadith Mesir, Harmala ibn Yahyâ al-Tujaybî dan al-Rabî` ibn Sulaymân al-Murâdî :

Harmala menyebut, “Aku mendengar Imam al-Shâfi’e (r.a) berkata:

“Bid‘ah itu dua jenis (al-bid‘atu bid`atân)”.

“Bid‘ah yang dipuji (bid‘ah mahmûdah) dan bid‘ah yang dikeji (bid‘ah mazmûmah).
Apa yang selari dengan Sunnah itu dipuji (mahmûdah) dan apa yang bertentangan itu dikeji (mazmûmah).”1

Beliau menggunakan dalil dari kenyataan Saidina ‘Umar ibn al-Khattâb (r.a) kepada jemaah yang mengerjakan Sembahyang Terawih di bulan Ramadân dengan katanya:

“Alangkah cantiknya bid‘ah ini!”.

Al-Rabî` juga meriwayatkan kenyataan yang sama bahawa Imam Al-Shâfi`î berkata kepada kami:

‘Perkara baharu yang diada-adakan itu dua jenis (al-muh dathâtu min al-umûri darbâin):

Pertama, perkara baharu yang bercanggah dengan al-Qur’an atau Sunnah atau athar Sahabat atau ijmâ’ para ulama’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hâdhihi al bid‘atu dalâlah).

Kedua, ialah perkara baharu yang diadakan dari segala kebaikan (mâ uhditha min al-khayr) yang tidak bertentangan dengan mana- mana pun di atas, dan ini bukan bid‘ah yang dikeji (wa hâdhihi muhdathatun ghayru madhmûmah).

`Umar (r.a) berkata terhadap sembahyang Terawih berjemaah di bulan Ramadhan:“Alangkah cantiknya bid‘ah ini!” bermaksud bahawa ‘perkara baharu’ yang diada adakan yang belum ada sebelum ini, tetapi ianya tidak bercanggah dengan perkara diatas (Al-Qur’an, Sunnah, athar Sahabat dan Ijma’).'”2
_________________________________________________________________


1. Diriwayatkan dari Harmala oleh Abû Nu`aym dengan sanad dari Abû Bakr al-Al- jurrî dalam Hilyat al-Awliyâ' (9:121 #13315=1985 edisi. 9:113) dan dinukilkan oleh Abû Shâma dalam al-Bâ`ith `alâ Inkâr al-Bida` wal-Hawâdith (edisi Riyadh 1990, hal. 93), Ibn Rajab dalam Jâmi` al-`Ulûm wal-Hikam (hal. 267= edisi Zuhaylî. 2:52= edisi Arna'ût, 2:131=sahîh), Ibn Hajar dalam Fath al-Bârî (edisi 1959, 13:253), al-Turtûshî dalam al-Hawâdith wa al-Bida` (hal. 158-159), dan al-Shawkânî, al-Qawl al-Mufîd fî Adillat al-Ijtihâd wa al-Taqlîd (edisi 1347/1929 hal. 36).

Riwayat dari Saidina `Umar disebut oleh Imam Mâlik dalam al-Muwat a' dan al-Bukhârî dalam Sahîh Bukhari.

2. Diriwayatkan dari al-Rabî` oleh al-Bayhaqî di dalam Madkhal dan Manâqib al-Shâfi`î beliau (1:469) dengan sanad sahih sepertimana yang disahkan oleh Ibn Taymiyyah dalam Dâr' Ta`ârud al-`Aql wa al-Naql (hal. 171) dan melalui al-Bayhaqî oleh Ibn `Asâkir dalam Tabyîn Kadhib al-Muftarî (edisi Kawtharî, hal. 97). Dinukilkan oleh al-Dhahabî dalam Siyar (8:408), Ibn Rajab dalam Jâmi` al-`Ulûm wal-Hikam (p. 267= edisi Zuhaylî. 2:52-53=edisi Arna'ût. 2:131 sahîh), dan oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bârî (1959 ed. 13:253).